Iuran BPJS Melangit Rakyat Menjerit. Opini Inastuti Idayanti

Iuran BPJS Melangit Rakyat Menjerit. Opini Inastuti Idayanti

Iuran BPJS Melangit Rakyat Menjerit. Oleh: Inastuti Idayanti, Pemerhati masalah sosial.

Di awal bulan Mei 2020 ini, penguasa memberikan kado istimewa untuk rakyat, dengan mengeluarkan Perpres 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan. Dimana dalam Perpres tersebut, pemerintah telah menaikkan iuran BPJS Kesehatan hampir dua kali lipat untuk peserta bukan penerima upah atau peserta mandiri. Berdasarkan aturan baru tersebut, tarif iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri Kelas I sebesar Rp150.000 per orang per bulan, Kelas II Rp100.000, Kelas III Rp25.500 dan menjadi Rp35.000 pada 2021. Tarif tersebut berlaku mulai Juli 2020.

Kebijakan ini tentu makin menampakkan watak asli penguasa sebagai pemalak rakyat. Kebijakan demi kebijakan tak satupun berpihak pada rakyat. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin pada Jumat, (15/5/2020). “Keputusan itu adalah bentuk kedzaliman yang nyata dan lahir hanya dari pemimpin yang tidak merasakan penderitaan rakyat,” katanya. Beliau juga mendesak penguasa agar menarik keputusan itu, karena jika tetap dipaksakan maka rakyat bisa melakukan pengabaian sosial (social disobedience).

Wabah Corona yang tak tahu kapan akan berakhir, jelas mempengaruhi kondisi politik, sosial maupun ekonomi negeri ini. Meningkatnya angka korban jiwa dan makin masifnya penyebaran virus Corona, telah menyeret rakyat dalam kondisi serba ketidakpastian.

Jutaan orang di PHK ataupun dirumahkan, warung dan tokoh pun sepi pembeli. Pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan angka kriminalitas naik pesat. Belum lagi efek PSBB yang mengharuskan orang untuk ‘stay at home’ namun tidak diberikan jaminan ekonomi dari penguasa.

Rakyat kelimpungan. Pendapatan tak punya, jaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat dari penguasa juga tak ada. Dalam kondisi seperti ini, penguasa kembali menaikkan iuran BPJS. istilahnya SUDAH JATUH TERTIMPA TANGGA. Dengan apa rakyat harus membayar iuran BPJS yang terus menanjak naik. Untuk makan sehari-hari saja sudah kesulitan memenuhi, masih ditambah lagi dengan beban iuran BPJS yang naik gila-gilaan. Dan penguasa seakan menutup mata atas kondisi rakyatnya.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini sebenarnya jelas-jelas melanggar keputusan Mahkamah Agung yang telah resmi membatalkan keputusan Jokowi untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Dilansir dari detik.com, sebelumnya Jokowi memang telah menaikkan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri sebesar 100 persen mulai awal tahun 2020 ini. Namun dalam putusannya, MA menyatakan jika Perpres pasal 34 ayat 1 dan 2 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan sejumlah undang-undang.

Baca Juga :  Simalakama Pedagang di Masa Pandemi. Opini Chusnatul Jannah

Kita tentu masih ingat saat media masa ramai membicarakan besaran ‘insentif’ untuk direksi BPJS kesehatan yang mencapai nilai ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Dilansir dari Kompas.com, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada tanggal 20/1/2020, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Dewi Asmara mengatakan, merujuk pada Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2019, BPJS Kesehatan menganggarkan insentif untuk direksi sebesar Rp 32,88 miliar. “Jika dibagi ke delapan anggota direksi, maka setiap anggota direksi mendapatkan insentif Rp 4,11 miliar per orang. Dengan kata lain, direksi menikmati insentif Rp 342,56 juta per bulan,” ujarnya. Sedangkan untuk insentif tujuh anggota Dewan Pengawas rata-rata sebesar Rp 2,55 miliar. “Jika dalam 12 bulan, insentif yang diterima Dewas adalah Rp 211,14 juta per bulan.

Nilai insentif yang sungguh fantastis, di tengah klaim jika BPJS kesehatan terus merugi.
Maka adalah suatu keanehan yang nyata jika menyatakan menderita kerugian, namun insentif untuk direksinya justru sangat mencengangkan. Karena itu MA tak salah menilai, jika defisit BPJS itu salah satunya akibat salah kelola. Sehingga defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan menaikkan iuran peserta BPJS.

Namun keputusan MA itu sepertinya tidak diindahkan oleh rezim. Terbukti, tak lama kemudian telah terbit Perpres 64/2020, yang isinya lagi-lagi menaikkan nilai iuran BPJS kesehatan dan nyaris tak berbeda jauh dengan Perpres yang dibatalkan MA. Seakan penguasa tak peduli dengan hasil keputusan MA tersebut.

Inilah fakta negara kapitalis. Negara yang berlepas tangan dari pemenuhan jaminan kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk urusan kesehatan. Rakyat harus berjibaku memenuhinya sendiri. Jikapun rakyat diberi subsidi, maka uangnya bersumber dari rakyat lagi, yakni dari pajak yang dipungut dari rakyat. Sungguh berat hidup rakyat dalam negara yang diatur berdasarkan sistem kapitalis. Negara melayani rakyat berdasarkan prinsip untung rugi. Penguasa bertindak sebagai pengusaha, yang jelas takkan mau rugi dalam usahanya. Akibatnya, rakyat harus gigit jari.

Ini jelas sangat berbeda jauh dengan pengurusan dan pengaturan Islam tentang pemenuhan kesehatan rakyatnya. Islam memiliki konsep yang luar biasa tentang kesehatan, yaitu bahwa penguasa bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk jaminan kesehatannya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin” (HR. Bukhori dari Abdullah bin Umar RA). Jadi, penguasa menjamin kesehatan rakyat dengan pelayanan bagus tanpa di pungut biaya sedikitpun.

Baca Juga :  Ramadan Kita Istimewa, Apapun Situasinya. Opini Ummu Fillah

Menurut Islam, jaminan kesehatan harusnya bersifat gratis dan tidak boleh diansuransikan. Semua biaya kesehatan ditanggung oleh negara dan tidak boleh diswastanisasi. Sehingga negara tidak perlu mensubsidi perusahaan asuransi kesehatan dalam melayani masyarakat seperti kondisi saat ini.

Negara tidak boleh menyerahkan urusan kesehatan pada lembaga asuransi seperti BPJS Kesehatan. Lembaga asuransi bertujuan meraup untung, bukan melayani rakyat. Sehingga haram hukumnya menyerahkan urusan pemenuhan kebutuhan kesehatan pada lembaga seperti ini. Kesehatan adalah hak setiap rakyat yang harus bisa diakses tanpa mengenal strata sosial alias pembedaan kasta pelayanan kesehatan. Seluruh rakyat mendapatkan pelayanan yang sama.

Rasulullah sebagai kepala negara mencontohkan bahwa negaralah yang wajib menanggung jaminan kesehatan rakyatnya. Rasullullah menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Saat mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis (Raja Mesir), beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).

Atau dalam hadits lain dikisahkan, bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Maal di dekat Quba’ dan diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR Bukhari dan Muslim).

Mengutip dari buku “Menggagas Kesehatan Islam” yang ditulis oleh KH Hafidz Abdurrahman MA dan kawan kawan,  dikisahkan bahwa pada masa kekhilafahan Abbasiyah jaminan kesehatan tidak hanya bertumpu pada kota-kota namun sampai pelosok desa bahkan sampai ke lingkungan penjara-penjara. Khilafah pada saat itu benar benar memperhatikan bidang kesehatan dengan layanan prima.

Jika kita ingin mendapatkan jaminan kesehatan terbaik dengan biaya murah ataupun gratis, maka hanya dengan kembali pada penerapan sistem Islam kaffah-lah semua itu bisa terwujud. Hanya dengan Islam, jaminan pelayan kesehatan dan kebutuhan dasar rakyat yang lain mampu terpenuhi secara prima. Sejarah telah mencatat, bahwa peradaban Islam terbukti mampu memberikan kualitas kesehatan terbaik selama berabad abad. Dan Islam sebagai RAHMATAN LIL ‘ALAMIN itu hanya bisa dirasakan jika Islam diterapkan secara kaffah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Loading...