Daya Rusak Kasus Jiwasraya Terhadap Kekuatan Ekonomi Nasional. Oleh: Pradipa Yoedhanegara, Pemerhati Sosial Politik.
Carut-marut mega skandal kasus Jiwasraya semakin hari semakin spektakuler saja karena terus-menerus menjadi perhatian publik seantero Indonesia, apalagi dengan akan ditetapkannya nama-nama baru dalam deretan tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam hitungan beberapa waktu ke depan. Dalam tulisan kedua soal JiwaSraya ini, sengaja saya ingin publik bisa melihat problematika kasus Jiwasraya ini dalam pelbagai macam perspektif.
Ketika sebelumnya para bandit kerah putih dengan seenaknya menilap akumulasi premi para nasabah asuransi JiwaSraya melalui skema transaksional di pasar modal (dan ini merupakan suatu tindakan tak terpuji), kini tiba saatnya bagi mereka untuk menuai hasil yakni menjadi barisan para pesakitan kasus jiwasraya. Kita tinggal menunggu penetapan tersebut, dan muaranya ke arah penegakan hukum yang tidak tebang pilih dan bisa memaksimalkan pengembalian uang para nasabah asuransi jiwasraya tersebut.
“Ancaman Runtuhnya Pasar Modal”
Terlepas dari proses penegakan hukum tersebut, telah terjadi sebuah keresahan yang mahadahsyat yang sedang dihadapi oleh kalangan emiten (perusahaan yang sudah go public baik itu perusahaan swasta maupun BUMN). Mengapa demikian? Karena setiap emiten yang bertransaksi dengan perusahaan milik Benny Tjokro (Hanson Internasional tbk) dan Heru Hidayat (Pt. Trada Alam Minera), hampir sebagian besar emiten tersebut ikut mengalami pemblokiran rekening korporasi oleh Kejaksaan Agung. Kalangan emiten tersebut mengalami kesulitan dalam melakukan transaksi pembayaran kepada investor yang hendak menjual saham (baik secara langsung maupun lewat order jual ke perusahaan via perusahaan sekuritas).
Di satu sisi, langkah pemblokiran dana oleh Kejaksaan Agung niscaya bertujuan untuk menelusuri semua aliran dana yang patut diduga terlibat dalam proses pengemplangan dana Jiwasraya, baik dari maupun ke dalam rekening kedua perusahaan milik tsk Benny Tjokro maupun Heru Hidayat.
Di sisi lain, langkah simultan dari Kejaksaan Agung dalam case pemblokiran uang para emiten tersebut, justru bisa berdampak buruk bagi entitas emiten maupun geliat eksistensi di pasar modal, yang pada akhirnya melemahkan perdagangan bursa saham di seluruh negeri ini.
Implikasinya, beberapa emiten telah mengalami penurunan harga saham yang sangat signifikan dari hari ke hari. Dampak yang begitu eskalatif akibat tetap diblokirnya dana atas nama emiten-emiten tersebut adalah semakin berkurangnya nilai kapital masing-masing perseroan yang mulai bertumbangan di pasar saham, dan itu bermuara ke arah anjlok dan terpuruknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia.
Sebagai sebuah catatan, Bursa Efek merupakan salah satu pilar di antara 3 pilar ekonomi nasional, selain sektor Perbankan dan Asuransi.
Kontemplasinya, kalau penanganan kasus Jiwasraya tidak disegerakan dalam proses penegakan hukum dan eksekusinya, maka entitas Bursa Efek Indonesia sedang menapaki jalur menuju destruksi yang intens dan akan membuat ekonomi nasional semakin buram serta terjun bebas ke arah krisis finansial yang sistemik.
“Di Mana Peran Depkeu dan Kemeneg BUMN dalam Kasus Jiwasraya?”
Secara hierarki, Jiwasraya merupakan entitas yang dinaungi oleh Departemen Keuangan dan Kementrian BUMN. Keniscayaannya, Departemen Keuangan dan Kementrian BUMN senantiasa menempatkan salah satu aparatnya untuk berposisi sebagai Komisaris Independen di dalam Asuransi Jiwasraya.
Laiknya fungsi Board of Commisioner, Komisaris Independen dari Depkeu maupun Kementrian BUMN pun bertugas untuk mengawasi tugas dan capaian yang dibukukan oleh seluruh jajaran Direksi di Asuransi Jiwasraya.
Apakah fungsi tersebut sudah berjalan dengan baik? Faktanya, portofolio investasi yang dimiliki oleh Jiwasraya, khususnya yang dialokasikan ke pembelian saham milik Benny Tjokro dan Heru Hidayat, luput atau sengaja diluputkan oleh jajaran komisaris, khususnya dalam hal ini adalah fungsi Komisaris Independen JiwaSraya yang berasal dari kementrian keuangan maupun kementrian BUMN.
Konkretnya, ketika jajaran direksi Jiwasraya Persero melakukan pembelian terhadap miliaran lembar saham milik Tsk Benny Tjokro dan Heru Hidayat di harga “tertentu”, dan selang beberapa waktu kemudian harga saham yang dibeli anjlok dengan sangat drastis dari harga awal, Peran para Komisaris maupun Komisaris Independen tersebut tidak melakukan tindakan apa pun terhadap sindikat penggembosan dana milik Jiwasraya tersebut dan ikut serta melakukan pembiaran.
Setali tiga uang dengan peran para Komisioner OJK yang sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun terhadap malpraktik perdagangan saham tersebut, Para Komisioner dalam jajaran OJK maupun kementrian keuangan dan Kementrian BUMN lewat peran sang Komisaris dan Komisaris Independen pun melakukan hal yang sama, yaitu pembiaran terhadap Jual-beli saham yang dilakukan oleh direksi JiwaSraya!
Sepertinya memang ada semacam kesengajaan, pembiaran ataupun semacam pemufakatan pembiaran di antara para stakeholder dalam menggembosi dana milik Asuransi Jiwasraya yang dilakukan Oleh Kementrian Keuangan, Kementrian BUMN dan Otoritas Jasa Keuangan.
Secara ideal, fungsi asuransi jiwa adalah memproteksi para nasabah dari kesulitan finansial, akibat munculnya kejadian tak terduga yang terjadi dan dialami oleh nasabah asuransi; misalnya kematian, kecelakaan, atau musibah lainnya yang datang.
Faktanya, kasus Jiwasraya justru memunculkan kejadian tak terduga yang sangat memalukan, yakni kongkalikongnya para pejabat dan pengusaha papan atas dalam merampok uang masyarakat yang terakumulasi di dalam asuransi Jiwasraya.
Untuk itu sudah selayaknya Kejaksaan Agung, segera meminta BPK RI untuk segera melakukan audit forensik agar secara transparan bisa dilihat berapa sesungguhnya jumlah kerugian asuransi JiwaSraya yang di jarah dan diperkosa secara bersama-sama oleh para pengusaha hitam, serta memeriksa semua pihak yang terlibat dalam goreng menggoreng saham JiwaSraya Persero dengan tidak tebang pilih.