Berebut Piala Citra dari Bansos. Opini Inas Rosyidah

Berebut Piala Citra dari Bansos. Opini Inas Rosyidah

Berebut Piala Citra dari Bansos. Oleh: Inas Rosyidah, Pemerhati masalah sosial.

Wabah virus Cofid 19 benar-benar mampu mengguncang dunia. Berbagai dampak dirasakan manusia sebagai efek dari pandemi global ini. Selain banyaknya jumlah korban meninggal, wabah ini juga membawa pengaruh signifikan terhadap iklim politik, sosial maupun ekonomi.

Perekonomian dunia termasuk Indonesia yang lesu, telah membawa pada gelombang PHK besar-besaran lantaran banyak industri yang berhenti, atau minimal mengurangi angka produksi karena minimnya pesanan. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, total angka PHK telah mencapai 1.943.916 orang dari 114.340 perusahaan.

Dilansir dari CNNIndonesia.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam video conference -nya tanggal 14 April 2020 mengatakan bahwa dampak dari wabah ini, angka pengangguran di Indonesia dalam skenario terburuk bisa tembus 5, 2 juta orang , dan angka kemiskinan bisa mencapai 3,78 juta orang. Bahkan dalam teleconference-nya tanggal 6 Mei 2020, beliau mengatakan jika jumlah angka kemiskinan pada Maret-Mei ini akan terjadi lonjakan luar biasa, balik seperti pada tahun 2011.

Tentu kondisi ini akan membawa pada menurunnya kemampuan daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahaya kelaparan menjadi momok yang harus dihadapi masyarakat dunia, khususnya rakyat Indonesia. Banyak kasus kelaparan bermunculan di berbagai tempat. Marak pula kasus kriminalitas berlatar keterpaksaan terjadi di masyarakat. Ramai diberitakan di medsos, sebanyak empat belas orang mahasiswa asal Maluku ditangkap petugas Satuan Polisi Pamong Praja di tengah Pembatasan Sosial Berskala Regional (PSBR) karena nekat mudik akibat kehabisan bekal di tempat perantauan.

Ada juga kasus sekeluarga ditemukan hampir mati lemas di tengah kebun karena tak mampu membeli makanan. Berbagai kasus pencurian dengan nilai tak seberapa terjadi, hanya demi menutupi rasa lapar. Termasuk kasus-kasus percobaan bunuh diri akibat tekanan ekonomi yang kian meningkat juga marak diberitakan.

Namun berbagai kondisi yang mengenaskan ini sepertinya tak mampu mendorong penguasa untuk berbuat sigap dan tanggap dalam menyelamatkan rakyatnya. Berbagai kebijakan yang dibuat penguasa serasa JAUH PANGGANG DARI API. Solusi yang tak menuntaskan masalah. Solusi yg setengah hati. Solusi yang tak jelas arahnya. Yang ujung-ujungnya membuat rakyat harus berjuang sendirian di tengah segala keterbatasan. Kalaupun ada kebijakan yang dikeluarkan, seringkali kebijakan yang tak bijak. Karena kebijakan penguasa itu bukannya meringankan beban rakyat namun justru membuat rakyat tambah sengsara.

Berbagai proyek yang dicanangkan penguasa sebagai upaya meminimalisir dampak wabah, ternyata tak mampu memberi rasa aman pada rakyat. Termasuk proyek BANSOS (bantuan sosial) yang digadang-gadang mampu mengurangi kasus kelaparan di masyarakat, ternyata hanya menjadi semacam TUNGGANGAN POLITIK. Saat ini sedang menjadi tren, bansos dijadikan sebagai media pencitraan bagi penguasa. Penguasa seakan sedang berebut piala citra lewat bansos. Menebar pesona untuk meraih simpati rakyat agar bisa dipilih kembali sebagai penguasa pada periode kepemimpinan berikutnya.

Mereka mengklaim bansos sebagai bantuan ‘pribadi’ penguasa.

Dilansir dari Tribune.com, koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, mengatakan, bahwa upaya politisasi bantuan terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

Dengan modus-modus politisasi bantuan, seperti gambar wajah pada kemasan bantuan sosial, stiker bergambar kepala daerah berisi imbauan pencegahan penanganan Covid-19, dan baliho Covid-19 dengan gambar kepala daerah. Dimana dananya diambil dari anggaran daerah. Selain itu juga ada modus lain, yaitu kepala daerah turun langsung memberikan bantuan kepada warga, yang beresiko pelanggaran terhadap aturan physical distancing, karena mendorong masyatakat berkumpul di titik bantuan itu diberikan.

Jeirry Sumampow menyebutkan beberapa nama kabupaten yang terindikasi melakukan politisasi bantuan tersebut. Kabupaten Klaten dan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah), Lampung (Lampung), Kabupaten Kaur (Bengkulu), Kabupaten Ogan Ilir (Sumatera Selatan), Kabupaten Jember dan Kabupaten Sumenep (Jawa Timur), Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.

Ternyata politisasi bansos juga terjadi di tingkat nasional. Bansos yang digelontorkan pemerintahan Joko Widodo distempeli dengan nama Bantuan Presiden RI. Nama yang memberi kesan seolah-olah bantuan itu dikeluarkan dari kocek Jokowi sendiri. Padahal sejatinya sumber dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipungut dari uang rakyat.

Baca Juga :  Karena Survei Kompas, Rusak Survei Sebelanga, Sebuah Opini Hersubeno Arief

Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo kepada CNNIndonesia.com, Rabu (29/4) mengatakan, bahwa kultur politisasi bansos sudah terjadi sejak lama di dunia politik. Ini merupakan salah satu trik kampanye dalam politik di Eropa sejak jaman dulu. Eropa lebih mengenalnya dengan istilah pork barrel atau gentong babi. Yaitu memberikan supply makanan kepada konstituennya, bahkan jauh hari sebelum pemilu. Tujuannya membangun kesukaan terhadap dia. Trik ini bisa disebut politik uang atau money politic, serupa dengan serangan fajar jelang pemilu. Perbedaannya, pork barrel berbalut kewenangan pemerintah mengelola anggaran bantuan sosial.

Hakekatnya inilah wajah sesungguhnya sistem politik demokrasi yang dianut negeri ini. Sistem politik yang menghalalkan segala cara, yang mampu menumpulkan rasa kemanusiaan. Dalam kondisi rakyat terkena musibahpun, penguasa masih tega memanfaatkan penderitaan rakyat untuk meraup keuntungan. Penderitaan dan kemiskinan rakyat dalam sistem sekuler ini seringkali dimanfaatkan sebagai objek pencitraan. Para politisi sibuk merilis program-program pencitraan bertema PENGENTASAN KEMISKINAN. Dengan kekuasaan yang dimiliki, mereka sibuk membisniskan penderitaan rakyat demi mengekalkan syahwat kekuasaan mereka

Tak peduli meski rakyat harus berjibaku menahan lapar hanya karena tas kantong untuk mengemas sembako yang bertuliskan BANTUAN PRESIDEN RI belum tersedia. Bansos untuk mengokohkan citra sang penguasa sebagai sosok yang peduli pada penderitaan rakyat, namun membiarkan rakyat kelaparan hanya demi menunggu tas kantong bertuliskan BANTUAN PRESIDEN RI itu selesai dibuat. Kepedulian seperti apa yang hendak ditonjolkan? Sosok seperti apa yang hendak dicitrakan? Sedangkan jelas-jelas itu berasal dari dana APBN, bukan dana presiden pribadi.

Kondisi ini jauh berbeda dengan penggambaran sosok pemimpin dalam sistem Islam, sebagaimana yang dicontohkan Rasullullah dan generasi salafus sholih. Pemimpin dalam Islam berfungsi sebagai ro’yun (pengurus) sekaligus sebagai junnah (tameng) bagi rakyatnya. Pemimpin bertanggung jawab terhadap keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Tentu saja ini bukan tugas yang ringan. Karena dalam Islam, kekuasaan itu adalah amanah sekaligus ladang ibadah yang akan dihisab di akhirat kelak. Sehingga menjadi pemimpin itu bukanlah perkara mudah dalam Islam. Generasi salafus sholih selalu merasa khawatir jika terpilih menjadi pemimpin. Mereka takut tak mampu menjalankan amanah tersebut.

Kisah terpilihnya Umar bin Khottob sebagai kholifah kedua, pengganti Kholifah Abu Bakar Ash-shiddiq cukup menjadi pelajaran berharga untuk para pemimpin atau mereka yang berniat menjadi pemimpin umat. Andai bukan karena segan menolak perintah kholifah sebelumnya (Abu Bakar Ash Shiddiq), beliau merasa enggan menerima amanah tersebut. Beliau khawatir berbuat dzolim pada rakyat saat menjalankan amanah kekuasaan tak sesuai dengan aturan Allah. Beliau benar-benar mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengurus rakyatnya. Salah satu prinsip pengurusan rakyat yang dikenang dari Umar sampai sekarang adalah bahwa ‘pemimpin harusnya yang pertama kali merasakan lapar dan yang terakhir merasakan kenyang’. Sehingga ketika negara dalam kondisi lapang maupun sempit, beliau selalu terjun langsung melihat kondisi rakyatnya.

Tanpa gembar-gembor, tanpa ingin disorot publik, tanpa publikasi oleh staf kholifah maupun para buzzernya…. beliau rutin ‘blusukan’ mengunjungi rakyatnya dengan sembunyi-sembunyi. Jauh dari kesan pencitraan. Jauh dari kesan meraih simpati rakyat. Beliau lakukan semua karena lillah, mengharap ridho Allah semata. Ketika di Madinah terjadi krisis paceklik panjang. Dalam rutinitas blusukannya bersama asisten beliau yang bernama Aslam, beliau menemukan seorang ibu yang sedang memasak sesuatu sambil berusaha menghibur anak-anaknya yang tak henti menangis karena lapar. Karena masakannya tak kunjung matang, anak-anak wanita itupun akhirnya tertidur karena kelelahan menangis.

Umarpun bertanya tentang apa yang dimasak wanita itu berjam-jam tapi tak juga masak. Ternyata yang dimasak wanita itu adalah batu. Dengan rasa kaget campur heran, Umar bertanya mengapa wanita itu memasak batu. Wanita itu berkata bahwa dia memasak batu karena Umar sebagai pemimpin sudah tak peduli dengan rakyat kecil dan miskin seperti dirinya. Jawaban wanita sungguh terasa menampar wajah Umar. Bergegas Umar mengambil sekarung gandum dari Baitul Maal dan memikul sendiri sampai ke rumah wanita itu. Saat Aslam, asisten Umar hendak memikul gandum itu, langsung ditegur Umar.

Baca Juga :  Pembungkaman Media: Bang Karni Ilyas Semoga Tetap Sehat dan Waras

Beliau mengatakan bahwa mengurus rakyat termasuk mencukupi kebutuhan makan rakyat adalah kewajibannya. Jika Aslam mengambil alih mengangkat karung gandum itu, apakah Aslam juga mau memikul beban hisabnya di akhirat kelak. Begitu luar biasanya Umar bin Khottob. Sedikit bicara, banyak bekerja. Tanpa pencitraan, namun kewajiban terlaksana. Bukan hanya berslogan kerja kerja dan kerja namun minim prestasi dan kental pencitraan.

Demikian juga kisah terpilihnya Umar bin Abdul Aziz, cicit Umar bin Khottob sebagai kholifah. Beliau juga menerima amanah itu sambil menangis karena khawatir hisab Allah atas apa yang dipimpinnya. Dan ucapan pertama yang keluar dari lisan beliau bukanlah ALHAMDULILLAH sebagaimana lazimnya para pemimpin saat ini saat mereka terpilih. Umar mengucapkan kalimat “inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’un”. Beliau merasa bahwa terpilih menjadi pemimpin adalah musibah bagi hidupnya, karena beban luar biasa berat harus ditanggungnya. Selama menjadi kholifah, beliau hidup sebagai pemimpin yang zuhud dan wara’.

Umar menolak saat negara memberikan kendaraan dinas yang super mewah berupa beberapa ekor kuda tunggangan beserta kusirnya. Beliau malah menjual semua kendaraan itu dan uang hasil penjualannya diserahkan ke Baitul Maal. Bahkan beliau menolak semua fasilitas mewah sebagai kepala negara, baik berupa tenda, permadani dan tempat alas kaki yang biasanya disediakan untuk kholifah yang baru. Sungguh jauh dari kesan ‘mencari citra’ di depan rakyatnya.

Beliau sungguh tampil sebagai sosok pemimpin yang merakyat, sederhana, dan peduli pada urusan rakyatnya. Terbukti selama hanya kurang dari dua tahun beliau memimpin, tak dijumpai ada rakyatnya yang miskin apalagi kelaparan. Kondisi keuangan Baitul Maal melimpah ruah. Tak ada rakyatnya yang berhak mendapat zakat, karena semua rakyat tercukupi. Tak ada yang menjadi pengangguran, karena beliau mampu menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Bahkan saking makmurnya, mahar kawinpun disediakan negara bagi lelaki yang tak mampu membayar mahar. Sungguh luar biasa bukan? Meski tanpa pencitraan, namun sosok beliau sungguh disayang. Tak perlu buzzer untuk mendongkrak elektabilitas. Tak perlu bansos bertuliskan namanya untuk menonjolkan kedermawanannya.

Semua ini terjadi karena sistem Islam-lah yang membingkainya. Sistem hidup yang berasal dari Sang Pencipta Manusia. Sebuah sistem yang hanya berorientasi mencari keridhoan Allah semata, yang dampaknya benar-benar tampak pada teraihnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh rakyat.

Sistem kepemimpinan Islam yang luar biasa ini berlaku baik saat kondisi normal, maupun saat negara terkena musibah, seperti terserang wabah penyakit atau paceklik, misalnya. Sejarah mencatat, para khalifah tersebut mampu menyelesaikan berbagai masalah rakyatnya dengan cara yang sesuai dengan syariat. Karena syariat Islam hakekatnya datang sebagai solusi seluruh problem manusia.

Bukan malah menjadikan musibah rakyatnya sebagai ajang bisnis dan meraup pencitraan. Sebagaimana kisah saat Madinah terkena paceklik panjang pada pemerintahan Umar bin Khottob. Pasokan pangan di Madinah menipis dan rakyat terancam kelaparan parah. Khalifah Umar menyurati wali (gubernur) Mesir, Amr bin ‘Ash, dan memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk mengirimkan pasokan makanan ke Madinah.

Menanggapi surat tersebut, Amr bin ‘Ash segera mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan yang mampu memenuhi kebutuhan makanan di Madinah. Itu semua dilakukan karena lillah, dan jauh dari kesan pencitraan. Jelas sangat berbeda dari penampakan sistem demokrasi sekuler seperti yang saat ini kita jalani, yang menjadikan asas manfaat dalam berbuat, serta cenderung menghalakan segala cara.

Betapa kita sangat merindukan kepemimpinan manusia sekaliber umar bin Khottob maupun Umar bin Abdul Aziz. Dua Umar yang mampu mengguncang dunia dengan cara pengurusan rakyatnya yang luar biasa. Dan itu hanya mungki dilakukan saat syariat Islam dijadikan sebagai panduan kehidupan, panduan pengurusan negara dan masyarakat. Sehebat apapun pemimpinnya, tapi jika aturan yang diterapkannya salah, sarat dengan politik kepentingan manusia, jelas tak akan mampu mengantarkan pada kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki rakyat. Hanya dengan kembali kepada aturan Islam kaffah, hidup manusia menjadi mulia. Wallahu a’lam bish showab.

Loading...