Strategi Hoax, Kebenaran VS Pembenaran, Sebuah Catatan Kecil

Genderuwo, Asu dan Sontoloyo (Bahasa dan Politik)

Strategi Hoax, Kebenaran VS Pembenaran, sebuah catatan kecil pojok warung kopi ndeso. Oleh: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik, Penggiat Institute Study Agama dan Civil Society

“Aswatama, kau bawa semua cintaku dalam jiwamu. Sirna engkau, sirnalah aku.” -Drona-

Strategi hoax sepertinya memang sudah ada sejak jaman wayang. Dikisahkan, saat perang Baratayudha, Pandawa ‘keteteran’ tidak bisa mengalahkan Drona, maka dibuatlah strategi menjebak, dibuatlah hoax yang memberitakan anak Drona yaitu Aswatama gugur. Karena dengan kehilangan anak, Drona akan kehilangan semangat, sehingga bisa dengan mudah dikalahkan.

Dijaman pewayangan, hoax tersebut adalah ide dari sosok cerdas, penuh strategi dan perhitungan jitu. Dia guru kebijaksanaan sekaligus konsultan politik Pandawa yaitu Kresna. Saat peristiwa hoax kematian Aswatama, Kresna yang mengatur siasat. Pandawa diminta membuat “kebohongan publik”.

Strategi hoax pun dilancarkan, ibarat awak media, Bima ditugaskan menyebarkan kabar burung bahwa Aswatama telah terbunuh. Dan kabar terbunuhnya Aswatama itu pun menjadi sangat viral. Padahal peristiwa yang sesungguhnya adalah Sang Bimasena membunuh gajah. Tetapi disebarluaskan seolah-olah Aswatama yang telah terbunuh. Hingga sang Resi Drona patah semangat. 

Guru Drona gak percaya begitu saja sama dengan kabar kematian putranya, karena Aswatama dikarunia Dewa dengan umur yang panjang, bahkan tak tersentuh kematian. Maka dicarilah kebenaran, ia bertanya pada Yudhistira nyang dipercaya tidak mungkin berbohong.

Tapi perang memang harus diakhiri, maka Yudhistira pun akhirnya turut berbohong. Yudhistira sadar dirinya bisa ngeles bilang tidak melakukan kebohongan, bahwa yang dimaksud Aswatama itu adalah nama gajah, bukan Aswatama anaknya guru Drona. Tapi yang namanya kebohongan adalah tetap kebohongan.

Baca Juga :  Porsi Koalisi Mana Yang Akan Prabowo Prioritaskan?

Guru Drona merasa hopeless, bukan karena anaknya sudah mati, melainkan karena harapan akan kejujuran eksis di dunia ini sudah cuma tinggal kenangan. Bahwa semua orang akan berbohong pada waktunya. Aswatama memang meninggal, tapi bukan Aswatama anaknya Drona, Aswatama nama seekor gajah. Yudhistira yang terkenal jujur akhirnya berbohong (bahwa Aswatama terbunuh), dan bohongnya Yudhistira ini menjadi penyebab kematian Guru Drona.

Drestradyumnen, adik Drupadi dari kerajaan Pancala berhasil memenggal lehernya.

Hikmah cerita diatas adalah, kebohongan dalam bentuk apapun tidak akan pernah menghasilkan buah yang manis. Dan HOAX yang diciptakan pihak Pandawa akhirnya berbuah. Yudistira bertemu dengan karma yang sangat pedih. Seluruh keturunan Pandawa lenyap dibantai Aswatama ketika sedang terlelap dalam tidur. Sedang roda kereta perang yang dinaiki Yudhistira pun amblas ke dalam bumi.

Narasi tentang secuil kisah hoax dijaman Mahabarata semoga membuat kita tetap eling lan waspada, cerdas memahami situasi, karena demi melihat banyaknya isu-isu yang berhamburan belakangan ini, sudah dilevel yang sangat memprihatinkan. Politik memang layaknya kopi; hitam pekat, pahit dan misterius. Tema utamanya tetap misteri. Itulah strategi hoax

Berita-berita yang dihamburkan, tentang agama versus budaya, setelah tempohari gagal mengadu domba antara agama dengan negara, entah besok apalagi. Lucunya ya kayak ABG baru puber, jadi sensi banget. Yang memberikan umpan lega, karena umpan dimakan dengan baik oleh kubu pro pluralisme, dan kebhineka-an, digoreng sedemikian rupa hingga gosong gak karuan di temlen tiap hari tiap waktu. Orang-orang mendadak sibuk menjadi penyinyir agama.

Baca Juga :  GPI Jakarta Merasa Dipermainkan Oknum Pejabat Kemendagri

Teman-teman saya yang notabenenya para spiritualis juga ikut-ikutan melempar gorengan soal agama versus budaya, angin segar buat kelompok nganu yang menyebut diri paling Nusantara, bak mendapatkan amunisi untuk menyerang dengan aneka macam penyebutan; pendatang, agama import bla bla bla…. Dan saya tetiba menjadi geli sendiri. Apasih yang gak impor disini? Akulturasi budaya harusnya sudah selesai, sinkretisme itu berjalan sudah 500 (lima ratus) tahun. Hidup rukun dan damai. Hingga tahun politik tiba, isu kebhinnekaan ini digoreng lagi.

Baiklah, bukan ini yang mau saya garis bawahi, tapi hal diatas jika dilihat dari sudut propaganda, adalah tergolong bentuk trick deception. Yang kata Joseph Gobbelz, menteri propaganda Nazi Hitler; “sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik maka kebohongan itu akan menjadi sebuah kebenaran.”

Dan kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja. Intinya begini, kebenaran itu memang ada walaupun hanya sepersekian persen. Bahwa dari sekian banyak isu yang dieksploitasi secara gegap gempita kepada publik memang tak semuanya hoax, tetapi seringkali hal remeh temeh, printilan peristiwa-peristiwa di panggung perpolitikan nasional ini entah sengaja atau tidak, diciptakan dan diblow up sehingga membuat publik menjadi abai terhadap proses-proses politik lainnya, dan menjadi lupa apa sesungguhnya permasalahan bangsa.

Akankah strategi hoax dan mainan isu akan terus digoreng ditahun politik kali ini? Dan kita asyik mengunyah-ngunyah tanpa berpikir atau memilih berpikir sebelum menelannya?

Loading...