Obat AIDS Harga 90 Ribu Kimia Farma Jual ke Pemerintah 402 Ribu

Obat AIDS Harga 90 Ribu Kimia Farma Jual ke Pemerintah 402 Ribu

WARTARAKYAT.ID – Berdasarkan data yang dimiliki oleh LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC), harga pembelian obat AIDS dan HIV yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sangat tinggi. Patokannya adalah harga jual obat sejenis di pasaran internasional sementara dengan produk yang sama. Sehingga patut diduga keras telah terjadi penggelembungan dana. Selama ini, pengadaan obat anti viral bagi pengidap HIV sepenuhnya ditanggung oleh negara. Pengidap HIV yang membutuhkan bisa mendapatkannya secara gratis.

Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana dalam pernyataan tertulis, Sabtu (27/10/2018) menyatakan keheranannya. Mengapa pemerintah harus membeli obat yang sama dengan selisih hargayang sangat jauh.

“Ini sama saja seperti merampok uang rakyat. Obat AIDS yang sebenarnya harganya hanya sekitar 90 ribu rupiah perbotol untuk sebulan. Harus dibeli oleh pemerintah Indonesia dari tender dalam negeri dengan harga 402 ribu rupiah perbotol. Padahal ini adalah obat yang sama persis.”

Adapun obat yang dimaksudkan adalah obat antiviral atau biasa disebut dengan nama ARV. Dengan jenis obat sediaan dosis tetap yang mengandung zat aktif Tenofovir, Lamivudine dan Efavirenz.

Obat ini telah mendapatkan rekomendasi WHO sebagai opsi utama bagi pengobatan pengidap HIV di seluruh dunia. Di Indonesia, pengguna obat ARV bersubsidi jenis kombinasi tiga zat aktif ini tercatat mencapai 48 ribu pengidap HIV. Subsidi pemerintah sendiri untuk obat-obatan ini sudah hampir menyentuh angka 1 trilyun rupiah pertahun.

“Sebenarnya, jika harga-harga obat-obatan HIV ini tidak digelembungkan. Maka total kebutuhan dana guna mensubsidi obat AIDS dan HIV ini hanya sekitar 300 Milyard saja. Namun karena harga jual obat ini sangat mahal di Indonesia. Maka setiap tahun pemerintah Indonesia perlu mengeluarkan dana sebesar 1 trilyun rupiah.” kata Aditya.

Baca Juga :  Hari Antikorupsi Dirayakan Dalam Suasana Prokorupsi

Berdasarkan data yang dilansir oleh Kementerian Kesehatan, total pengidap HIV yang mengkonsumsi obat ARV ini mencapai 125 ribu pengidap. Angka ini masih sangat kecil dibandingkan estimasi pengidap HIV yang ada di Indonesia yang mencapai sebesar 650 ribu pengidap HIV.

Kementerian Kesehatan sendiri dalam Rencana Aksi Nasional penanggulangan AIDS mentargetkan bahwa di tahun 2020, pemerintah harus mampu memberikan pengobatan HIV kepada 258.340 pengidap HIV. Angka ini 2,5 kali lebih besar dibanding yang saat ini disubsidi. Dengan tingkat harga obat ARV semahal sekarang, estimasi dana yang dibutuhkan untuk mensubsidi keseluruhan target pengobatan HIV ini akan menembus angka 2 trilyun rupiah pertahun. Ini adalah suatu pemborosan uang negara.

Di India dan banyak negara lain, obat ARV kombinasi jenis Tenofovir-Lamivudine-Efavirenz ini berkisar 75 ribu – 105 ribu perbotol. Sementara harga yang dibeli oleh pemerintah Indonesia melalui tender dalam negeri mencapai harga 402 ribu perbotol. Dari catatan yang didapatkan oleh IAC, selama ini obat ARV jenis ini disuplai oleh perusahaan BUMN yaitu Kimia Farma.

“Berdasarkan hitungan kami, bila harga obat AIDS dan HIV ini bisa lebih rasional, total subsidi yang dibutuhkan sebenarnya hanya sepertiga dari total subsidi obat ARV yang sekarang dikucurkan sebesar 1 trilyun setiap tahunnya atau dengan tingkat subsidi sebesar 1 trilyun seperti sekarang. Kita bisa menambah tambahan 50-75 ribu pengidap HIV bisa mendapatkan obat,” jelas Aditya

Mahalnya harga yang dibeli oleh pemerintah Indonesia, bukan saja telah memboroskan keuangan negara.Nnamun juga membatasi kemampuan pemerintah untuk memberikan subsidi pengobatan bagi pengidap HIV lain. Pengobatan HIV bagi pengidap HIV bukan saja akan mampu membuat pengidap HIV ini terhindar dari kematian. Namun juga bisa mencegah penularan HIV kepada masyarakat.

Berdasarkan catatan IAC, sudah beberapa kali kasus dugaan korupsi dalam pengadaan logistik program penanggulangan AIDS diselidiki oleh pihak penegak hukum namun selalu mentok. Kali ini, IAC berharap Kejaksaan Agung bisa bertindak lebih serius lagi. Sehingga kasus yang berpotensi merugikan keuangan negara ini bisa ditangani. Dan harga obat-obatan HIV bisa turun untuk kedepannya.

Baca Juga :  Banyuwangi Geger Video Asusila Siswi SMP Dengan Mahasiswa

“Saat ini, Indonesia berada dalam fase transisi. Dimana secara perlahan dana bantuan luar negeri untuk program AIDS mulai berkurang dan harus digantikan oleh dana dalam negeri. Jika praktek penggelembungan harga obat AIDS ini terus berjalan, kita akan kesulitan mengalokasikan dana bagi keperluan program penanggulangan AIDS lainnya. Dan bisa jadi angka kasus pengidap HIV dan AIDS akan meroket kembali di Indonesia di tahun-tahun mendatang,” tutup Aditya. (OSY)

Loading...