My Teacher, My Father : Opini Syaefudin Simon

Syaefudin Simon

Oleh : SYAEFUDIN SIMON

Penulis Lepas

WARTARAKYAT.IDGuruku adalah ayahku my teacher, my father. Ia mengajarku dari kelas empat sampai kelas enam SD. Ayahku tampaknya sudah mencium bakatku sebagai penulis kelak. Makanya kalau pergi ke kota, ia beli koran, buku sejarah, novel, dan majalah. Aku pun membacanya sampai tuntas.

Kelas lima SD aku sudah menyukai artikel MAW Brouwer dan Mahbub Junaidi di Kompas yang dibeli ayah. Ayah pula yang membawa novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar, yang aku baca berulang-ulang. Sampai aku ingin jadi Anton, mahasiswa Psikologi UGM yang ganteng dan playboy itu.

Gara-gara novel Cintaku di Kampus Biru aku kuat sekali melamun untuk bisa kuliah di UGM. Mimpi kuliah di UGM makin kuat lagi setelah piknik ke Yogya waktu SMP kelas satu. Cita-cita menjadi penulis pun menggebu.

Baca Juga :  Persamaan Dihadapan Hukum Dalam Kasus Tindak Pidana Makar

Waktu SMP, aku menulis artikel dengan pulpen tinta cair bermerk Tatung di kertas buku tulis. Lalu aku kirimkan ke koran Kompas dan Berita Buana. Tak ada kabar dimuat atau tidak. La wong gak tiap hari beli koran. Ayahku hanya beli koran kalau pergi ke kota Cirebon.

Di SD, ayahku rajin mengajar matematika dan bahasa Indonesia. Keduanya pelajaran yang aku sukai. Mungkin berkat pelajaran bahasa Indonesia — paling sering disuruh buat kalimat dan membuat cerita — itulah, aku mulai terampil berbahasa.

Mimpi kuliah di UGM tercapai tahun 1978. Akulah orang pertama di desa Tegalgubug, bahkan di Kecamatan Arjawinangun, yang kuliah di UGM. Jangan mengira, orang Tegalgubug senang aku kuliah di UGM.

Baca Juga :  Gila Agama, Mabuk Pancasila. Opini Dimas Huda

Mereka hanya suka kalau anak Tegalgubug mesantren di Lirboyo Kediri. Makanya waktu aku ke Yogya, tak ada satu pun orang Tegalgubug yang mengantarkan aku ke stasiun kereta api Graksan, Cirebon. Padahal kalau ada anak mau nyantri ke Lirboyo, ratusan orang Tegalgubug mengantarnya ke stasiun.

Loading...