Hukum Amburadul, Bukti Rusaknya Sistem Amburadul. Opini Suratiyah

RUU HIP, Upaya Sekularis Menghantam Ajaran Islam. Opini Suratiyah

Hukum Amburadul, Bukti Rusaknya Sistem Amburadul. Oleh: Suratiyah, Pegiat Dakwah dan Member AMK.

Masyarakat Indonesia kembali dipertontonkan dengan keputusan tidak adil bagi sang korban. Sebenarnya bukan kasus ini saja yang bobrok akan tetapi puluhan kali, bahkan ratusan kali hukum tersebut lebih memihak sang pelaku kejahatan.

Padahal kalau melihat UUD, negara ini seharusnya menjunjung tinggi nilai hukum. Sebagaimana termaktub dalam UUD NKRI tahun 1945, yaitu pasal 1 ayat 3 yang bunyinya, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Namun, entah hukum itu dibuat untuk siapa. Pasalnya sampai saat ini angka kriminalitas semakin tinggi dan keputusan hukum sering melukai rasa keadilan masyarakat.

Seperti dilansir oleh detik.com, 14/06/2020 bahwa Jaksa Fredrik Adhar menuntut sanksi satu tahun penjara kepada Rahmat Kadir dan Ronny Bugis, dua terdakwa penyiraman air keras kepada penyidik senior KPK Novel Baswedan. Hal ini membuat kekecewaan bagi Novel. Sebab tidak sebanding dengan yang diderita oleh Novel, yaitu mata cacat seumur hidup.

Untuk itu, Pusat Studi Hukum  Kebijakan (PSHK) Giri Ahmad Taufik meminta kepada hakim agar mengabaikan tuntutan jaksa dan mempertimbangkan fakta dan hukum secara cermat. Sebelumnya, jaksa dalam perkara Novel Baswedan telah mendakwa pelaku dengan dakwaan berlapis dan menempatkan  pasal 355 ayat (1) pada dakwaan pertama. Pasal ini memberikan ancaman hukuman 12 tahun penjara kepada pelaku kejahatan. (Kompas.com, 12/06/2020). Tetapi mengapa justru hanya dituntut satu tahun penjara?

Tentu hal ini menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat. Padahal, fakta sudah terlihat dengan jelas, tetapi jaksa tetap berpegang teguh pada surat tuntutan yang dibacakan pada Kamis (11/6/2020), yaitu menuntut  satu tahun penjara kepada kedua terdakwa. Hal ini karena jaksa menilai bahwa para terdakwa tidak sengaja menyiram air keras ke mata Novel Baswedan. (depok.pikiran-rakyat.com, 22/6/2020)

Inilah potret hukum negara demokrasi. Penegakan hukum berbagai kasus di negeri ini sering kali mengingkari rasa keadilan dan  menyengsarakan masyarakat. Diskriminasi hukum kerap dipertontonkan aparat penegak hukum. Kondisi hukum seperti ini sungguh tidak adil. Ketika berhadapan dengan orang yang memiliki kekuasaan baik politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul. Tetapi ketika berhadapan dengan rakyat kecil yang tidak mempunyai kekuasaan, hukum bisa sangat tajam.

Baca Juga :  Diko Nugraha: Otoritas Tuhan Hari Ini Kalah Dengan Otoritas Hukum

Keadilan hukum bagi kebanyakan masyarakat kecil seperti barang mahal. Namun sebaliknya, menjadi barang murah bagi segelintir elit. Keadilan hukum hanya dimiliki oleh golongan yang mempunyai kekuatan dan akses politik serta ekonomi saja. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase. Realitanya hukum  justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit.

Mengapa semua ini terjadi? Sebab landasan yang diterapkan adalah menyerahkan kepada akal manusia yang mengenyampingkan halal haram sebagai standar keadilan. Oleh karena itu, mencari keadilan yang seadil-adilnya hanyalah ilusi belaka.

Dalam demokrasi, hukum Allah Swt. hanya diterapkan di masjid, pernikahan, perceraian, dan kematian. Sementara di ruang publik, termasuk pemerintahan, hukum Allah Swt. ditinggalkan. Mereka menganggap hukum konstitusi kedudukannya lebih tinggi daripada hukum Al-Qur’an.

Maka, wajar jika hukum tersebut tidak membuat efek jera. Baik bagi pelaku maupun masyarakat. Akibatnya kasus korupsi, pembunuhan, dan perzinahan semakin hari bukannya semakin  menurun, justru semakin meningkat.  Hukum seperti inilah yang memicu angka kriminalitas semakin tinggi.

Bahkan yang lebih ngeri lagi, asas yg diterapkan adalah materi atau manfaat. Materi ini jika mendominasi hati manusia akan mengalahkan segalanya. Manusia akan dibutakan dengan harta. Dengan dorongan nafsu, sering kita jumpai  aparat hukum yang menerima suap dari terdakwa, untuk meringankan dan membebaskan terdakwa dari jeratan hukum yang menimpanya. Sebaliknya, jika aparat berhadapan dengan rakyat miskin, maka hukum akan semakin tajam.

Inilah buktinya bahwa sistem bobrok demokrasi hanya akan menghasilkan diskriminasi keadilan. Bahkan bisa dikatakan keadilan tersebut telah tiada. Semua ini harus segera dihentikan dengan sistem terbaik yang menjunjungi nilai keadilan. Baik pada pelaku maupun korban.

Sebagai pengganti sistem tersebut, tidak lain adalah dengan kembali kepada sistem Islam. Hanya sistem Islam yang telah terbukti keadilannya ketika lebih dari 13 abad diterapkan di muka bumi.

Mengapa demikian? Sebab kedaulatan hukum dalam Islam berada di tangan Asy- Syari’, yaitu Allah Swt. sebagai pembuat hukum. Bukan di tangan manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Yusuf (12), ayat 40, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِهٖۤ اِلَّاۤ اَسْمَآءً سَمَّيْتُمُوْهَاۤ اَنْـتُمْ وَ اٰبَآ ؤُكُمْ مَّاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ بِهَا مِنْ سُلْطٰنٍ ۗ اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗ اَمَرَ اَ لَّا تَعْبُدُوْۤا اِلَّاۤ اِيَّاهُ ۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّا سِ لَا يَعْلَمُوْنَ

Baca Juga :  Omnibus Law: Potensi Jadi Tuan di Negeri Sendiri? Opini Ainul Mizan

“Apa yang kamu sembah selain Dia, hanyalah nama-nama yang kamu buat-buat, baik oleh kamu sendiri maupun oleh nenek moyangmu. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang hal (nama-nama) itu. Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Dengan menerapkan kedaulatan di tangan syara’, maka hukum tersebut tidak akan berubah-ubah, walaupun masa dan pemimpinnya berganti. Sebab baik dan buruknya, halal haramnya, hanya Allah Swt. yang menentukan. Bukan manusia. Dengan demikian, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin benar-benar terwujud. Bukan hanya sebatas slogan saja. Keadilan dapat dirasakan semua warga negara, baik muslim maupun non muslim.

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an :

وَمَاۤ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّـلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya (21): 107)

Untuk menyelesaikan kasus penganiayaan terhadap Novel Baswedan, telah dijelaskan dalam bab Jinayat. Yaitu dengan cara membayar diyat, sesuai dengan yang ditetapkan syariat Islam.

Untuk satu biji mata dikenakan 1/2 diyat. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah saw.: “Pada dua biji mata dikenakan satu diyat.” Dalam riwayat Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Pada satu biji mata, diyatnya 50 ekor unta.”

Dengan hukum seperti itulah rasa aman di tengah masyarakat akan terwujud. Hukum Islam hanya ditopang dengan rasa iman kepada Allah Swt. Melahirkan rakyat dan penguasa yang hanya takut kepada Allah Swt. Mereka saling menasehati untuk membela kebenaran.

Hukum Islam akan menjadi zawajir atau memberi efek jera pada masyarakat dan menjadi jawabir atau penebus siksa di akhirat. Pelaku bebas dari azab Allah Swt. Sebab di dunia sudah diberi hukum sesuai yang Allah Swt perintahkan.

Seluruh keunggulan hukum Islam, hanya akan terwujud jika negeri kita menerapkan Islam sebagai pondasi negara. Dengan demikian, segala macam persolan di negeri ini akan terselesaikan. Oleh sebab itu, hanya dengan menerapkan Islam secara kaffah, keadilan akan terwujud dengan nyata.

Wallahu a’lam bishawab.

Loading...