Nasib Miris Tenaga Medis di Sistem Kapitalis. Opini Wijiati Lestari

Nasib Miris Tenaga Medis di Sistem Kapitalis. Opini Wijiati Lestari

Nasib Miris Tenaga Medis di Sistem Kapitalis. Oleh: Wijiati Lestari, Owner Taqiyya Hijab syar’i.

Di tengah pandemi Corona yang semakin menggila keberadaan tenaga medis sangatlah diperlukan. Merekalah yang bertarung nyawa demi keselamatan pasien terdampak Corona. Walau dengan APD yang minim bahkan tak ada, sehingga jas hujan sebagai penggantinya. Meski rindu untuk bertemu keluarga karena jam kerja lebih panjang dari biasanya. Bahkan ada yang rela tidak pulang karena khawatir mereka pembawa Carrier untuk anggota keluarga di rumahnya. Mereka tetap berjuang demi kesembuhan pasien Corona. Bahkan ketika terdengar kabar teman sejawat yang menghadap sang Pencipta tersebab tertular Corona dari pasien yang dirawatnya mereka tetap bertahan di ruang yang sama.

Tambah miris keadaan mereka karena ada sebagian yang belum mendapat hak insentif yang dijanjikan pemerintah untuk tenaga medis baik perawat maupun dokter yang menangani pasien Corona sebesar 5-15 juta. Seperti dikutip dalam laman Merdeka.com(25/05/2020), ada sekitar 900 tenaga medis yang belum mendapat Intensif di Rumah Sakit Darurat yang berlokasi di Wisma Atlet Kemayoran. Begitulah yang diungkapkan oleh seorang tenaga medis di sana yang tidak mau disebut namanya.

Hal itu terjadi karena semakin banyaknya relawan tenaga medis jadi kurang terstruktur pembagiannya dan juga bertepatan dengan hari raya Idul Fitri sehingga Bank sudah banyak yang tutup.Mereka dijanjikan mendapat insentif tanggal 15 Juni. Padahal mereka sangat mengharapkan intensif ini, apalagi di tengah pandemi yang tengah terjadi tentu banyak hal yang harus dibeli demi mencukupi anggota keluarga di rumah mereka.

Bukan hanya insentif yang belum diterima, nasib mereka juga masih menjadi taruhan karena kebijakan-kebijakan penguasa yang sama sekali tak menunjukkan bukti kalau serius memutus rantai penyebaran Corona. Banyak pemudik dari zona merah yang kembali ke kampung halaman karena alat transportasi beroperasi, padahal mereka pasti sadar bahwa bisa saja dirinya sebagai carrier Covid-19, yang bisa menularkan kepada sanak keluarga di kampung halamannya. Kebijakan ini semakin parah ketika Mall dan bandara dibuka, semua tahu bahwa penyebaran Covid-19 terjadi ketika ada kerumunan manusia.

Baca Juga :  Anies, Bawaslu dan People Power

Dengan bertambahnya pasien Corona, otomatis semakin besar tanggung jawab tenaga kesehatan, dengan fasilitas minim mereka tetap berjuang demi kesembuhan pasien-pasien Corona. Mereka semakin menahan rindu kepada keluarga bahkan bisa jadi nyawa mereka menjadi taruhan.

Padahal untuk bisa menjadi perawat dan dokter diperlukan dana yang besar dan waktu yang panjang tentu dengan otak yang cemerlang. Apalagi dokter ahli semakin banyak waktu, biaya dan pikiran yang dihabiskan.

Hal ini tentu tak akan terjadi saat syariat Islam diterapkan. Islam mengajarkan untuk membayarkan uoah tenaga kerja apapun profesinya sesegera mungkin, sebagaimana di dalam hadits,”Berikanlah pekerja upahnya, sebelum keringatnya kering” (H.R Ibnu Majah). Karena setiap penguasa di negeri Muslim selalu beramal sesuai dengan syariat maka dipastikan tidak akan ada pekerja yang gajinya telat dibayarkan termasuk para tenaga medis.

Selain itu ketika wabah melanda syariat Islam mengajarkan untuk lockdown, mengunci tempat terjadinya wabah sehingga wabah tidak meluas dan tenaga medis terpusat mengurusi satu daerah saja. Hal ini diterapkan Khalifah Umar bin Khattab Ra ketika terjadi wabah tha’un Amwas di Syam. Beliau sang kepala negara langsung mengunci daerah tersebut bahkan para sahabat Nabi pun meninggal dunia di sana. Diantaranya adalah Abu Ubaidah bin Jarrah Ra, Mu’adz bin Jabal Ra dan Zaid bin Abu Sufyan Ra.

Baca Juga :  Rekayasa One Way Diberlakukan Untuk Kendaraan Keluar Masuk Brebes

Penguasa negeri Muslim juga menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai, hal ini bisa dilihat ketika kejayaan Islam saat Harun Ar-Rasyid memimpin beliau membangun rumah sakit Baghdad(786 M -809 M). Kemudian Rumah Sakit Bimaristan dibangun oleh Nuruddin pada abad XI M hingga Rumah Sakit tersebar di seluruh jazirah Arab pada abad XIII M. Tentu saja dengan fasilitas yang memadai di zamannya. Bahkan semua Rumah Sakit kala itu gratis tanpa biaya. Untuk pasien saja fasilitas lengkap dipastikan alat-alat yang diperlukan oleh tenaga medis lebih memadai.

Penguasa Muslim juga mendirikan sekolah-sekolah untuk dokter dan tenaga medis lainnya secara gratis. Karena mereka sadar bahwa kesehatan merupakan kebutuhan dasar rakyat. Untuk pembiayaan sekolah-sekolah tersebut negeri Muslim mengambil Baitul Maal dari pos harta kepemilikannya negara(kharaj, jizyah, harta waris yang tidak dapat diwariskan) dan harta kepemilikannya umum(sumber daya alam, tambang minyak, batu bara dll). Gaji tenaga kesehatan diambil juga dari sini.

Begitulah pemimpin kaum Muslim memuliakan tenaga medis, sangat berbeda dengan sistem kapitalis saat ini. Karena pemimpin kaum Muslim senantiasa terikat dengan syariat Islam yang mengatur seluruh lini kehidupan bukan hanya soal ibadah dan urusan pribadi tetapi urusan pemerintahan dan kebutuhan dasar masyarakat termasuk kesehatan di dalamnya diatur olehnya. Para pemimpin kaum Muslim senantiasa yakin bahwa mereka akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat sebagai mana sabda Nabi Muhammad Saw, “Imam(Khalifah) laksana gembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya”.

Dengan hadits itu pula pemimpin kaum Muslim berusaha maksimal untuk tidak mendholimi siapapun termasuk tenaga medis saat pandemi seperti. Usaha dilakukan seoptimal mungkin untuk segera memutus pandemi, sehingga tak akan terdengar nasib miris tenaga medis.

Loading...