Kartu Pra Kerja Bukan Solusi Kebutuhan Rakyat
Oleh: Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Hass)
Pandemi Covid-19 masih terus menyelimuti dunia. Wabah yang sudah menyebar ke 93 negara juga mengancam sektor ekonomi. Banyak keluarga kehilangan pendapatan. Aktivitas perekonomian terancam lumpuh. Sejumlah perusahaan menghentikan usahanya. Ada yang sementara waktu. Bahkan ada yang bangkrut.
Pandemi Covid-19 telah memukul banyak sektor usaha manufakturing, wisata, restoran, perhotelan, transportasi, dan lain-lain. Banyak perusahaan juga menghentikan usahanya karena khawatir penyebaran virus Corona. Mereka akhirnya merumahkan para pekerja. Bahkan banyak yang mem-PHK para karyawannya.
Di Tanah Air, Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan B Satrio Lelono mencatat jumlah pekerja yang terkena PHK dan dirumahkan mencapai 2,8 juta. Lonjakan PHK dan pekerja dirumahkan adalah dampak ekonomi akibat pandemi virus Corona.
Berdasarkan data Kemenaker, 212.394 pekerja dari sektor formal terkena PHK. Pekerja formal yang dirumahkan sebanyak 1.205.191 orang. Dari sektor nonformal, Kemenaker mencatat sekitar 282 ribu orang tak memiliki penghasilan.
Angka di atas bisa jadi lebih sedikit dibandingkan jumlah sebenarnya. Pasalnya, di Tanah Air banyak warga yang bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, pedagang keliling, dan sebagainya.
Di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, sebagaimana dilansir Pikiran Rakyat pada 11/4/2020, Dinas Tenaga Kerja Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disnaker KUKM) Kab Majalengka, telah menyiapkan program kartu prakerja bagi buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tempatnya bekerja, akibat dampak dari penyebaran virus corona.
Dampak Covid-19, mengakibatkan sejumlah perusahaan tidak bisa berproduksi karena kekurangan bahan baku dan hasil produksi tertolak pembeli. Setidaknya hal itu terjadi di lima perusahaan di wilayah Majalengka.
Perusahaan-perusahaan tersebut sebagian besar bahan bakunya didatangkan dari luar negeri. Sementara saat ini impor bahan baku terhenti akibat dari antisipasi penyebaran virus corona. Demikian juga barang hasil produksi pabrik-babrik tersebut tidak bisa dikirim ke luar seperti biasanya.
Di tengah kondisi ini, pemerintah masih belum tepat guna dalam mengambil langkah. Bukannya melakukan penanganan sigap bersifat jangka pendek dan panjang, pemerintah justru menaikkan alokasi anggaran untuk Kartu Pra Kerja hingga 100 persen, dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun, serta menambah jumlah penerima menjadi 5,6 juta orang.
Program Kartu Prakerja ini mungkin saja bagai kontingen penyelamat di tengah ancaman resesi akibat wabah. Konsep program ini mengadopsi bahwa korban PHK dilatih secara online baru diberi tunjangan. Sementara untuk penyelenggaranya, akan mendapat dana dari negara. Dana itu akan dipotong dari tunjangan para pekerja tadi. Artinya, para pekerja juga tidak akan memperoleh tunjangan dengan nominal yang penuh.
Turut mengkritisi hal ini, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menilai bahwa Kartu Prakerja semestinya diterapkan saat kondisi perekonomian sedang normal.
Saat tidak ada wabah dan badai ekonomi, Indonesia memang butuh SDM yang unggul dan memiliki skill yang baik. Yang oleh karenanya, Kartu Prakerja bisa menjadi jawaban dengan memberikan pelatihan online maupun offline.
Padahal, yang rakyat butuhkan saat ini bukan lagi pelatihan, melainkan dana segar untuk menyelamatkan asap dapur agar tetap mengepul, alias butuh makan. Jadi, di era krisis seperti saat ini, masyarakat dan para korban PHK lebih membutuhkan kebijakan berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibanding Kartu Prakerja.
Terlebih lagi, pelatihan online menjadi syarat wajib dari program Kartu Prakerja. Bayangkan jika mereka sebagian besar adalah para pekerja informal yang alih-alih melek teknologi. Dapat uang untuk bisa makan saja sudah bersyukur. Program pelatihan online Kartu Prakerja malah tidak efektif dan salah sasaran karena digital skill dari sebagian besar pesertanya masih terbatas. Ini pastinya membutuhkan penanganan yang berbeda lagi.
Adanya kebijakan kartu pra kerja semakin menunjukkan bahwa sejatinya pemerintah ingin berlepas diri dari tanggungjawab terhadap buruh yang di PHK di tengah pandemik covid-19. Kartu pra kerja sejatinya hanyalah cuci tangan pemerintah karena kartu pra kerja bukanlah gaji bagi buruh yang terkena PHK melainkan program pelatihan dan pembinaan bagi mereka yang terkena PHK.
Inilah rezim dalam sistem demokrasi-kapitalisme yang memposisikan dirinya sebagai pedagang bukan pelayan rakyat. Upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan pelayanan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem Kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi, sekadar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan.
Dalam mengatasi wabah corona beserta segala dampak derivatnya, hendaknya penguasa melakukan ikhtiar terbaik untuk mengurus rakyatnya. Meyakini bahwa wabah ini datang dari Allah SWT Sang Mahakuasa, yang oleh karenanya solusi dan pengurusannya juga semestinya dikembalikan sesuai aturan-Nya.
Khilafah Islamiyah adalah sistem kehidupan sesuai sunah Rasul-Nya. Khilafah mengemban tata aturan yang berlandaskan pada konsep ri’ayatusy syu’unil ummah (mengurusi urusan umat). Sistem inilah yang mampu meniscayakan pengurusan urusan manusia dengan standarnya adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) secara menyeluruh orang per orang. Ini termasuk penyediaan sektor-sektor ekonomi sumber nafkah bagi para pekerja. Wallahua’lam.