Dilema Hukuman Mati Pelaku Korupsi. Opini Ummu Fara

Dilema Hukuman Mati Pelaku Korupsi. Opini Ummu Fara

Dilema Hukuman Mati Pelaku Korupsi. Oleh: Ummu Fara, Pemerhati Sosial.

Korupsi telah menjadi wabah sistemik di negeri ini. Belum tuntas mengusut soalan yang ada, muncul deretan kasus besar lainnya. Ada apa dengan Indonesia?

Dilansir dari Republika.co.id, Anggota komisi VI DPR Fraksi Partai Golkar Mukhtarudin mengapresiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengancam hukuman mati koruptor dia tengah bencana seperti wabah Covid-19. Hukuman ini dinilai pantas karena menyengsarakan rakyat dan para penimbun pangan juga harus ditindak tegas dengan hukuman seberat-beratnya. (23/3/2020)

Senada dengan Mukhtarudin, Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menindak tegas oknum-oknum yang memanfaatkan situasi di tengah pandemi virus Corona. Mulai dari oknum yang melakukan korupsi dalam pengadaan alat kesehatan hingga yang mencari keuntungan di pasar keuangan.

Sri Mulyani juga mengatakan tidak ada pendomplengan atau orang-orang yang menggunakan kesempatan ini dari pengadaan alat kesehatan dan di pasar keuangan dengan menjual saham dan forex. Dan akan ditindak tegas kalau ada yang memanfaatkan situasi ini. (CNNI. 20/3/2020)

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bajuri juga mengingatkan semua pihak untuk tidak melakukan praktik korupsi di tengah pandemi virus Corona dan penyakit Covid-19 di Indonesia. Dan mengancam hukuman mati bagi para oknum yang melakukannya karena tidak memiliki empati kepada NKRI.

Firli menambahkan seluruh pihak kini sedang fokus kepada penanganan virus Corona dan KPK mengambil peran dengan mengawasi kegiatan tersebut. Ia pun menegaskan kembali, para penyidik dan penyelidik KPK tetap bekerja di lapangan untuk mencari dan menemukan peristiwa korupsi.Walaupun suasana penuh keprihatinan, tapi kami tetap semangat dalam upaya pemberantasan korupsi, membangun dan menggelorakan semangat budaya anti korupsi. (Kompas.Com. 21/3/2020)

Ancaman hukuman mati bagi koruptor yang digagas oleh KPK, nampaknya menjadi angin segar. Sayangnya perangkat Undang-Undang di Indonesia belum mewadahi adanya hukuman mati bagi koruptor. Sehingga pernyataan tersebut masih perlu tindakan nyata agar bukan sekedar pencitraan saja.

Pernyataan hukuman mati bagi koruptor dalam situasi wabah Corona sebenarnya bukan lah yang pertama. Ungkapan serupa juga pernah dilontarkan oleh orang nomor satu di negeri ini.

Bapak presiden mengungkapkan akan memberikan hukuman mati bagi koruptor bila rakyat menghendaki. Namun di sisi yang lain apa yang disampaikan presiden kontradiktif dengan sikap yang diambil. Sebut saja sikap beliau yang menyetujui revisi UU KPK, batal dalam mengeluarkan Perppu pemulihan KPK, dan pemberian grasi atas napi koruptor.

Sikap gamang yang ditunjukkan para elit penguasa ini semakin membuktikan, hanya demi politik elektoral semata, tidak ada keseriusan untuk merealisasikan pemberantasan korupsi dalam bentuk nyata.

Inilah yang terjadi dalam sistem kapitalis sekuler, tarik ulur kepentingan yang akan bermain dalam menentukan sebuah kebijakan. Padahal persoalan korupsi adalah masalah yang sistemik, dari aspek hukum mesti diberlakukan hukuman yang bisa membuat jera para pelaku, dan juga harus dibarengi pembenahan dari aspek sistem politik dan lainnya.

Sementara dalam sistem kapitalis sekuler demokrasi di negeri ini, terlihat jelas realitas belum ada kekonsistenan Perangkat hukum baik legislatif, yudikatif, eksekutif. Tidak adanya komitmen yang tegas dalam upaya pemberantasan korupsi dibuktikan dengan disetujuinya UU KPK direvisi dan KPK dilemahkan.

Baca Juga :  KPK Minta Gratifikasi Bingkisan Makanan Disalurkan ke Panti Asuhan

Dalam sistem kapitalis sekuler juga akan melahirkan individu bertindak menghalalkan segala cara demi kekuasaan dan materi. Individu-individu yang jauh dari tuntunan agamanya, lihat saja di tengah wabah Corona yang terjadi saat ini. Harusnya ini menjadi masalah bersama, saling berempati dan negara hadir mengatasinya. Namun, kondisi ini malah dijadikan sarana untuk mencari keuntungan di dalamnya.

Munculnya oknum-oknum yang memanfaatkan kondisi yang ada tidak terlepas dari sistem yang memberi peluang kepada mereka pada setiap lini kehidupan. Telah hilang rasa malu, hilang rasa dosa hingga tega menyakiti rakyatnya sendiri.

Dan semua tumbuh subur dalam sistem politik demokrasi yang saat ini diterapkan di negara ini.

Sistem kapitalis demokrasilah yang menjadikan para pejabat bisa meraih kursi empuk kekuasaan dengan sokongan dana yang tidak sedikit, dari para kapital pemilik modal yang ikut andil.

Sehingga yang terjadi sangat jarang kita temui para elit yang betul-betul terjun untuk mengayomi rakyatnya. Yang terjadi ketika berkuasa malah berlomba untuk mengembalikan uang modal politik. Disatu sisi uang gaji dan tunjangan tak mencukupi untuk balik modal dan mengembalikan sokongan dana dari para kapital yang telah menyokongnya.

Maka korupsi sebagai jalan mulus melanggengkan kekuasaan. Inilah akar masalah yang membuat praktik rasuah sulit untuk diakhiri.

Islam Mencegah Korupsi

Menghapus korupsi hingga ke akarnya jelas membutuhkan langkah yang berbeda dari hukum yang selama ini diterapkan. Nyatanya di alam demokrasi, kejahatan korupsi tidak surut sedikitpun, justru semakin menggurita hingga tak mampu dicegah dengan hukum yang ada. Maka saatnya melirik Islam sebagai solusi tuntas mengatasi biang korupsi.

Syariat mengatur secara rinci bagaimana mengatasi persoalan korupsi, Pertama, sistem penggajian yang layak. Rasul Saw bersabda : “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)” (HR Abu Dawud)

Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”. Oleh karena itu, harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini.

Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad).

Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi. Maka datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk mereka. Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).

Baca Juga :  Biaya Daftar Ulang SMAN 1 Raja Ampat Capai 3 Juta Rupiah

Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi.

Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, bukan jaksa atau orang lain, diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Mal, atau membagi dua kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.

Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan takwa pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban.

Di sinilah diperlukan keteladanan dari para pemimpin itu. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Kelima, hukuman setimpal. Pada dasarnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan. “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.

Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah memberikan jalan yang sangat gamblang mengenai pemberantasan korupsi dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. Dan hal diatas hanya dapat diterapkan apabila sistem Islam dijadikan sebagai sumber hukum di negara ini. Merevisi UU KPK, atau membiarkan KPK sebagai superbody untuk memberantas rusuah, tak akan menjadi problem solving terbaik selama sistem yang terus memberi peluang terjadinya korupsi-yaitu Kapitalis- terus dipertahankan. Saatnya kita uninstall sistem bobrok. Wallahualam bishowab.

Loading...