Membangun Sinergitas Dunia Islam Dalam Menghadapi Invasi Barat dan Timur. Oleh: Ainul Mizan, Pemerhati Politik.
Percaturan ekonomi dan politik dunia banyak dipengaruhi oleh kiprah negara kuat dengan ideologinya. AS dan China menjadi wujud pengaruh ideologi Kapitalisme dan Komunisme di dunia. Imbasnya berbagai persoalan dunia di bidang ekonomi dan politik muncul dari persaingan di antara keduanya.
Bidang ekonomi dan politik adalah instrumen utama dalam invasi AS dan China. Negara – negara berkembang yang dominan penduduknya muslim menempati posisi kunci. Potensi rival ideologi dari Islam bisa dikendalikannya. Di samping itu, AS dan China mempunyai stok potensi SDA dan pasar bagi komoditasnya di negeri – negeri Islam.
Perang dagang yang terjadi antara AS dan China memicu resesi ekonomi dunia. Masing – masing menerapkan tarif bea ekspor dan impor komoditas. Kebijakan AS adalah meningkatkan restriksi impor untuk menekan defisit perdagangannya dengan China. Defisit perdagangan AS dengan China meningkat dari USD 371,8 milyar pada 2016 menjadi sebesar USD 395,8 milyar pada 2017. Pemerintah AS mengenakan tarif 15 persen terhadap impor barang dari China senilai lebih dari USD 125 milyar. Ini berlaku pada komoditas pengeras suara canggih, pengeras suara bluetooth, komputer jinjing dan lainnya.
Sebagai balasannya, China mengenakan tarif impor atas 128 produk AS senilai USD 3 milyar. Rinciannya atas 120 produk AS dikenakan tarif 15 % dan 8 produk AS dikenakan tarif 25 %. Selanjutnya disusul dengan China mengenakan tarif senilai USD 50 milyar atas impor produk AS.
China berambisi untuk menjadi raksasa ekonomi di kawasan Laut China selatan dan sekitarnya. Proyek OBOR menjadi bagian strategi memenangkan perang dagangnya dengan AS. Dan untuk mendukung hal itu, China berambisi menguasai Xinjiang, daerah yang mempunyai ladang minyak dan gas raksasa di China.
Sementara itu, AS menggunakan isu Uighur guna menekan China. Konggres AS akan menetapkan RUU guna menindak pejabat China yang melakukan pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur, seperti dilangsir The Global Times.
Di sisi lain, AS juga sangat agresif menilai terhadap negara – negara yang mendapat fasilitas GSP (Generaliezes System of Preferences) termasuk Indonesia. Pada tahun 2017, Indonesia mendapat potongan tarif bea masuk 4 % atas produk ekspor ke AS. Akibatnya Indonesia mendapat surplus perdagangan dengan AS senilai USD 9,7 milyar.
Belum lagi strategi politik ideologi yang dijalankannya di Indonesia. Melalui lembaga tink tanknya seperti Rand coorporation, AS menjalankan strategi moderasi Islam. Targetnya menghadirkan Islam yang inklusif bukan yang eksklusif. Hadirnya Islam Nusantara merupakan wujud inklusifitas Islam tersebut. Dengan demikian ada garansi untuk mengokohkan nilai – nilai demokrasi di Indonesia. Dalam hal ini, tentunya China tidak berkeberatan.
Tentunya negeri – negeri Islam yang disebut dunia Islam tidak bisa pasrah begitu saja menjadi bulan – bulanan kepentingan AS dan China yang imperialis. Dunia Islam harus mandiri. Mewujudkan kemajuan dengan kekuatannya sendiri. Dunia Islam tidak perlu minta ijin kepada siapapun saat harus menolong negeri dan wilayah muslim yang tertindas. Walhasil mutlak diperlukan adanya sinergitas dalam membebaskan diri dari belenggu invasi AS dan China.
Beberapa langkah yang dapat diwujudkan guna membangun sinergi dunia Islam adalah berikut ini.
Pertama, menyatukan potensi ekonomi yang dimiliki dunia Islam dalam sebuah jaringan.
Kita bisa mengambil beberapa poin dari masyarakat Uni Eropa. Meniadakan hambatan ekonomi dan perdagangan antar negara eropa dengan menghapus visa serta penggunaan mata uang yang sama yakni Euro.Artinya bila direfleksikan dalam kesatuan ekonomi dunia Islam bisa diwujudkan dengan penghilangan kewajiban visa atas keluar masuknya komoditas dari dan keluar antar negeri Islam, penggunaan kesamaan mata uang yang tahan inflasi dan devaluasi yakni dinar dirham, serta pembangunan kesejahteraan ekonomi didasarkan kepada kebutuhannya bukan penghasilannya.
Ditambah lagi, penyatuan potensi SDA negeri – negeri Islam akan menghasilkan raksasa ekonomi dunia. Ambil contoh, cadangan minyak dunia Islam. Libya memiliki 48,363 juta barel, Uni Emirat Arab sebesar 97,800 juta barel, Kuwait sebesar 101,500 juta barel, Arab Saudi sebesar 266,500 juta barel, dan Irak sebesar 142,501 juta barel. Bandingkan dengan AS yang hanya sebesar 39,230 juta barel.
Kedua, Menyatukan potensi jumlah penduduk dunia Islam dalam kesatuan rasa dan cita. Rasa saling menyayangi dan bahu membahu dalam suka dan duka. Cita untuk mewujudkan menjadi umat terbaik.
Jumlah penduduk muslim di dunia pada Maret 2019 adalah sebesar 1,8 milyar. Potensi sebesar ini bila diambil 1 persen sebagai militer, akan didapatkan kekuatan militer sebesar 18 juta pasukan. Kekuatan sebesar ini ditambah dengan adanya kebijakan wajib militer untuk pemuda yang genap berusia minimal 15 tahun, sebagaimana di jaman Kholifah Umar bin Abdul Aziz.
Apalagi sebagaimana dilangsir dari Pew Research Center, bahwa pada tahun 2050, populasi muslim di Eropa akan naik dua kali lipatnya. Ini akan menjadi faktor yang mempercepat keberpihakan politik eropa kepada dunia Islam, bahkan di wilayah jantung lahirnya renaissance dan sekulerisme.
Ketiga, dunia Islam perlu menyamakan persepsi terhadap apa yang disebut dengan hukum dan keluarga internasional. Maksudnya adalah persepsi terhadap organisasi PBB.
Melihat track record PBB dengan berbagai resolusi yang dikeluarkannya misalnya kepada Israel, hanya menunjukkan bahwa PBB itu sekedar kendaraan politik negara – negara besar pemegang hak veto. Keberanian dunia Islam untuk keluar dari jebakan politik dan ideologi negara adikuasa lewat lembaga – lembaga tersebut baik skala internasional maupun regional akan melahirkan kemandirian bagi dunia Islam untuk bersikap. OKI yang hanya bisa mengecam kebiadaban Israel dan kecenderungan keputusan politiknya sesuai politik belah bambu AS dengan solusi 2 negara, nyatanya tidak mampu menghentikan Israel.
Secara logika, bagaimana mungkin entitas yang sebenarnya merampas Palestina diberikan solusi 2 negara. Inilah standar ganda AS. AS berteriak lantang kepada China atas masalah Uighur, sementara tangannya masih berlumuran darah umat Islam di Palestina.
Tentunya sinergitas dunia Islam dalam potensi ekonomi, potensi demografi dan potensi politiknya akan menemukan arah yang jelas ketika dirangkai dalam sebuah kesatuan pandangan ideologi. Kemerdekaan dalam mengambil ideologi harusnya menjadi bagian dari HAM yakni kemerdekaan berpendapat dan berkeyakinan.
Tentunya dunia Islam tidak perlu menengok kepada ideologi dari luar. Realitasnya baik AS dan China dengan ideologi Kapitalisme dan Sosialismenya telah menorehkan derita yang dalam bagi dunia Islam. Tidak ada alternatif lain selain dunia Islam mengambil khasanah ideologinya sendiri yakni Islam.
Dengan ideologi Islam tersebut akan bisa dibangun sinergitas raksasa dunia Islam. Bentuk keKhilafahan dalam sejarahnya selama sekitar 1300 tahun telah mampu menjadi faktor pembangun kemanusiaan tanpa memandang suku, agama dan ras manusia. Tentunya untuk yang kedua kalinya juga bentuk keKhilafahan menjadi bentuk ideal wujud sinergitas dunia Islam di abad moderen ini. Pembebasan kemanusiaan dari kerasukan Kapitalisme dan Komunisme menjadi hal utama yang akan diwujudkannya. Lagi – lagi tidak membedakan suku, agama dan ras di antara manusia.