Naskah Akademik UU di Senayan, Sebuah Karya Tulis Djoko Edhi

Naskah Akademik UU di Senayan, Sebuah Karya Tulis Djoko Edhi

Naskah Akademik UU di Senayan. Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman, Anggota Komisi Hukum DPR (2004-2009), Advokat, Wakil Sekretaris Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU.[1]

Pekan Februari 2006, saya disibuki pembahasan RUU Kementerian Negara (RUU KN) dan RUU Dewan Penasihat Presiden (RUU DPP) di Senayan. Ketua Pansus kedua RUU itu, adalah Agun Gunanjar Gunarsa dari FPG. Dalam kosinyering, RUU KN diusulkan menjadi RUU Kekuasaan Pemerintahan (RUU KP) sehingga memasuki perdebatan seru.[2]

Sudah banyak pakar dan lapisan masyarakat yang diundang Agun untuk inputan penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dalam daftar penting, diundang mantan petinggi birokrat negara: Akbar Tanjung, Amien Rais, Megawati, Gus Dur. Baguslah, kian banyak inputan penting, kian sedikit kesilapannya kelak. Di Pansus itu, saya sendiri kayak remote control – diganggu syahwat recall separuh DPP PAN akibat studi Naskah Akademik UU Anti Judi di Mesir.

Tapi, setelah sekian banyak wacana dan masukan RUU itu, belum cukup terang bagi saya arah diskursus cakupan azas materinya, baik dari perspektif Gesetzgebungs Wisensschaft, maupun paradigma UU No 10/2004 tentang Peraturan Petundang-Undangan. Masalahnya, inisiator RUU itu -pemerintah- tak menyediakan Naskah Akademiknya. Jadinya, untuk sekadar menyusun DIM saja, laksana berjalan di rimba luas gulita.

Pertanyaan pertama tak terjawab:
“Apakah hak prerogatif presiden boleh diatur RUU itu?” Konsekwensinya, pengaturan bisa mengurangi hak prerogatif presiden yang cenderung absolut pada het wetsbegrip UUD 45.

Pertanyaan kedua, juga tak terjawab:
“Apakah hak prerogatif presiden menurut wetsgeving dan staatsbegroting UUD 45 bersifat absolut, sehingga tak bisa dikurangi, dalam kasus ini pengaturan oleh RUU KP?” Ada dua paradok UUD 45 tentang hak prerogatif yang saya catat dari inputan RUU KP: (i) Prof Harun Al Rasyid: hak prerogatif tidak bisa dikurangi. Dan, (ii) Prof Ismail Suny: hak prerogatif berhenti ketika muncul UU yang membatasi.

Pertanyaan ketiga, juga tak terjawab:
“Apakah mampu mengkonstruksi kinerja Dewan Penasihat Presiden tanpa UU Kepresidenan dan UU Rumah Tangga Istana?” Argumennya, akibat Dewan Penasihat Presiden diatur oleh UU DPP, praktis ia menjelma state auxiliary agency -badan independen yang dibiayai APBN- mau-tak-mau kinerjanya coverage dari azas algemene beginselen van behorlijk bestuur (AUPB) yang terkena fungsi controlling dan budgeting DPR-RI. Dengan kata lain, pekerjaan jadi pembisik presiden pun harus terukur, karena dibiayai oleh rakyat.

Pertanyaan keempat, juga tak terjawab:
“Apakah mampu diatur oleh RUU KP dan DPP hubungan kinerja kabinet, kementerian negara, dan rumah tangga istana dengan azas algemene beginselen van behorlijk bestuur tadi tanpa harus merujuk UU Sekretariat Negara, UU Kepresidenan, dan UU Rumah Tangga Istana yang belum ada?”

Kasus pertanyaan tak terjawab itu adalah contoh kecil kacaunya pemahaman eksistensi fungsi Naskah Akademik dalam prosesi pembuatan UU di Senayan dengan mayoritas anggota DPR kurang paham. Namun saya pastikan Agun sangat paham hingga detail teknik, fungsi, dan akibat Naskah Akademik.

Dewasa ini, separuh isi Prolegnas adalah RUU tanpa Naskah Akademik. Tak berdosa memang tanpa Naskah Akdemik, formiil maupun materiil. Tapi kami di Senayan, semua maklum bahwa hasil kerja tanpa Naskah Akademik, minimal tak ilmiah, maksimal amburadul.

Naskah Akademik adalah sebuah buku berisi hasil penelitian ilmiah tentang suatu masalah dengan tujuan riset untuk menyediakan rujukan ilmiah atas milieu masalah peraturan perundangan yang akan dibahas. Jadi tujuan riset Naskah Akademik adalah aplikasi.

Karena tujuan untuk aplikasi itu, wajib hukumnya dalam pembuatan Naskah Akademik, disusun berdasarkan penelitian lapangan, menggunakan metodologi kuantitatif yang tak terlalu luas dan rumit -jika dibandingkan dengan penelitian disertasi yang tujuannya untuk keilmuan (tidak untuk aplikasi).

Naskah Akademik yang dibuat Litbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, umumnya terkonsentari pada satu masalah yang disempitkan secara deduktif dengan tujuan untuk memudahkan para pembuat UU (legislator) memakai Naskah Akademik itu. Sedangkan teknis analisisnya, juga tak terlalu matematis – umumnya menggunakan teknik Analisis Tabulasi sederhana.

Metafora Naskah Akademik, tak ubahnya seperti kita mampir di Restoran Padang, di mana berbagai ragam menu dihidangkan komplet di atas meja makan. Para legislator tinggal memilih menu sesuai selera mantiknya sebagai rujukan utama saat sebuah RUU berada di tangan sang legislator -yang pasti seluruh makanan tersaji di atas meja itu sudah diolah secara ilmiah. Dengan kata lain, kesalahan akademik di dalamnya, tak lebih dari Alpha 5 persen (parametrik dan non parametrik).

Jadi, andai RUU itu punya Naskah Akademik, maka empat pertanyaan di muka tadi, sudah tersaji di atas meja dalam bentuk completely built-in -legislator tinggal mengunyahnya, sejak definisi, konstruksi kategori, teknik, dan metodologi, deskripsi terminologi, aksiologi, etimologi, epistimologi, sosiologi, hingga yuridis. Bahkan sejumlah model perbandingan, misalnya hak prerogatif di Amerika, Eropa, dan Timur Jauh.

Itulah pula deskripsi teknik sebagian kecil masalah ruwetnya proses pembuatan UU di Senayan. Wajar jika banyak nongol keanehan, ketidakwajaran, paradoksal, absurditas, dan illogic UU, bahkan kesalahan fatal ketika dilaksanakan.

Para legislator itu memang tak pernah diseleksi. Sekonyong-konyong saja usai Pemilu, mereka ramai-ramai nongol di Senayan dengan julukan keren: wakil rakyat. Dan, hebatnya, sekonyong-konyong pula mereka dibaptis sebagai legislator -pembuat UU- tanpa kecuali. Padahal, di kampung sana, seumur-umurnya belum pernah bersintuhan dengan Ilmu Hukum, apalagi dengan mahluk Gesetzgebungs Wisensschaft. Nyaris mustahil pula mendidik mereka Gesetzgebungs Wisensschaft, karena sudah terlanjur disebut Pembuat UU dari sononya.

Kelemahan tak kalah serius, adalah kendala aspek kurikulum keilmuan hukum kita. Saya kutip dari Maria adagium petitum Peter Noll: [3]

Die Rechts Wissensschaft ist bis heute eine reine Rechts prechungs Wissensschaft Geblieben (Ilmu Hukum dewasa ini, hanya tinggal Ilmu Peradilan). Schendelen menambahkan:
Die Rechts Wetensschap heft zich te sterk geconcentreerd op de wetgevingsproducten en de rechtspraak. Deze brave juristenkijk, zoals van Schendelen het noemt, heft van derechts wetenschap een rechtspraak swetenschap gemaakt (Ilmu Hukum hanya mengonsentrasikan diri pada Peradilan dan produk Perundangan, bagaimana memakai produk Perundangan, bukan bagaimana membuatnya. Akibatnya, Ilmu Hukum hanya terkonsentrasi kepada Peradilan dan Pemerintahan, tak imbang dengan konsentrasinya ke Perundangan yang kian terpencil.

Baca Juga :  Restorasi Nasdem, Restorasi As If
Derivasi lanjut, sulit menemukan legislator yang paham elaborasi Ilmu Peraturan Perundangan atau Gesetzgebungs Wisensschaft – dengan kata lain tak sekadar Legal Drafting – sekalipun saban hari bergelut dengan pekerjaan membuat UU di Senayan. Maklumi saja jika aturan main kita dalam bernegara amburadul dan tumpang tindih.

Sumber keterbelakangan pendidikan hukum kita dewasa ini pun, menurut kajian Prof Maria Farida, memberi sumbangan signifikan. Tengok saja kurikulum inti Program Pendidikan Sarjana Hukum dalam SK Dirjen Dikti No 30/DJ/Kep/1983, 27 April 1983 dan derivatnya -masih menitikberatkan pada kepentingan fungsi Peradilan dan Pemerintahan. Sedangkan fungsi Perundangan, nyaris terkucil. Akibatnya, legislator yang kesehariannya bercakap bikin UU di Senayan, cuma bisa gagap karena tak menguasai Ilmu Peraturan Perundangan.

Saya mengutip buku “Ilmu Perundangan – Dasar-Dasar Pembentukannya”, karya Prof Maria Farida Indrati Soeprapto, Asisten Almarhum Prof Dr Hamid Attamimi, bapak ilmu peraturan perundang-undangan Indonesia yang memberi banyak ilham dalam memahami masalah keterkucilan Ilmu Peraturan Perundangan terhadap kinerja legislasi di Senayan.

Kisahnya, dari 12 mata kuliah Keahlian Hukum, seluruhnya menunjang fungsi Peradilan, tiga lainnya menunjang fungsi Pemerintahan. Kemudian, 19 mata Kuliah Pendalaman, 15 menunjang fungsi Peradilan, empat menunjang fungsi Pemerintahan.

Sementara itu, kegiatan Akademik Hukum hanya menunjang Program Studi Hukum dan Program Kekhususan yang dikelola Laboratorium, plus delapan mata kuliah – tiga di antaranya menunjang fungsi Peradilan, dua menunjang fungsi Perundangan, yakni Perencanaan Hukum danPerancangan Hukum.

Jadi, karena kebutuhan pendidikan perundangan itu, maka sejumlah Fakultas Hukum menambah mata kuliah khusus perundangan, mengintegrasikannya ke mata kuliah Hukum Tata Negara II dan program Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Hukum. Tapi, sejauh itu materinya baru mencakup Teknik Perundangan dan Pembentukan Perundangan – tak cukup untuk kebutuhan ideal Ilmu Peraturan Perundangan.

Ilmu Peraturan Perundangan atau Gesetzgebungs Wisensschaft adalah ilmu baru yang berkembang di negara berbahasa Jerman, meluas ke Belanda dan sekitarnya. Di negara bersistem Common Law, Gesetzgebungs Wisensschaft tak subur.

Beberapa hasil studi mengemukakan alasan. Yaitu, karena sistem hukum kurang butuh perundangan selaku resources pembentuk hukum di sana, karena perundangan belum memerankan instrumen penting kebijakan negara dalam pengelolaan perubahan tatanan sosial. Jadi,Gesetzgebungs Wisensschaft tumbuh dalam bentuk sempalan, seperti Teknik Penyusunan UU, Interpretasi UU, dan Metodologi Pembentukan UU.

Tak syak lagi kalau Gesetzgebungs Wisensschaft adalah anak bungsu ilmu hukum. Lahir bersamaan dengan ilmu-ilmu politik modern, saudaranya sendiri sudah menjadi Grand Ma di akhir Renaissance. Jadi, sebagai ilmu hukum termuda, Gesetzgebungs Wisensschaft memiliki kelemahan disiplin, metodologi, terminologi, dan sampai akhir Perang Dunia I masih sengit didebatkan.

Puncak wacana itu, terakhir, para ahli sepakat untuk berdebat panjang mengenai satu hal saja: ”Apakah Gesetzgebungs Wisensschaft mono disiplin, multi disiplin, atau inter disiplin?”.

Di antara pengemuka Gesetzgebungs Wisensschaft, pandangan Burkhardt Krems[4] dan Werner Maihofer[5] merupakan dalil terkuat, yang memulai argumen dari hasil kupasan mereka tentang hubungan kedudukan Gesetzgebungs Wisensschaft sebagai bagian-bagian arsitektur Ilmu Hukum.

Krems membagi dua Gesetzgebungs Wisensschaft. Yakni: (i) Teori Perundangan (Gesetzgebungs Theorie) dan, (ii) Ilmu Perundangan (Gesetzgebungs Lehre).

Teori Perundangan, menurut Krems, orientasinya mencari penjelasan kejernihan pengertian (Enklärungs Theorie), berada di wilayah kognitif hukum. Sedangkan Ilmu Perundangan, berorientasi pada perbuatan (Handlungs Orientier), berada di wilayah normatif hukum.

Selanjutnya lahir dari Maihofer, konsep induk disiplin Gesetzgebungs Wisensschaft dalam dua kamar, sbb:

Kamar Pertama, Penelitian Kenyataan Hukum (Rechtsstats achenforschung), substansinya adalah meneliti pembentukan UU.

Kamar Kedua, Ilmu Perundangan (Gesetzgebungs Lehre), adalah politik hukum, yaitu ilmu yang substansinya diangkat dari pengalaman empiris hukum, fungsinya laksana mercu suar – penuntun ke mana arah pembentukan hukum diselenggarakan.

WG van Der Velden menambahkan, di antara banyak ahli, hanya Krems dan Maihofer yang membagi Gesetzgebungs Wisensschaft ke dalam lebih dua disiplin. [6]

Velden sendiri adalah ahli yang setuju pemisahan itu, berangkat dari pemahaman atas faktor determinan pentingnya pemisah empiris dannormatif hukum dalam teorema besar empirische en normative wetsgevingswetenschap.

Pembahasan lebih lanjut, Krems mampu mempertahankan tesis-tesisnya. Ia mengajukan Gesetzgebungs Wisensschaft menjadi tiga disiplin. Yaitu: (i) Proses Perundangan (Gesetzgebungs Verfahren), (ii) Metodologi Perundangan (Gesetzgebungs Methodik), (iii) Teknik Perundangan (Gesetzgebungs Technik).

Dalam konteks rigid, Maihofer mengajukan empat disiplin Gesetzgebungs Wisensschaft, yaitu: (i) Teknik Perundangan / Technik der Gesetzgebung, (ii) Metodologi Perundangan / Methodik der Gesetzgebung, (iii) Taktik Perundangan / Tactik der Gesetzgebung, dan (iv) Analisis Perundangan /Analitic der Gesetzgebung.

Krems mendalilkan kontruksi Gesetzgebungs Wisensschaft dari fakta, tak lain adalah ilmu interdisiplin dengan tujuan utama menciptakan ”ilmu interdisiplin pembentuk hukum negara” atau Die Interdisziplinäire Wissensschaft von der Saatslichen Rechtssetzung.

Arstektur Gesetzgebungs Wisensschaft sendiri, kata Krem, merupakan gabungan sejumlah disiplin ilmu yang kegunaannya hanya untuk menjangkau objek hukum bersifat khusus.

Jadi, dari satu sudut, Gesetzgebungs Wisensschaft kelihatan lebih sempit, baik korelasi dengan Ilmu Hukum, Ilmu Politik, maupun Sosiologi. Tapi dari sudut kompleksitas, Gesetzgebungs Wisensschaft tampak jauh lebih luas dibanding Ilmu Hukum itu sendiri.

Gesetzgebungs Wisensschaft tampak lebih sempit jika semata-mata dipandang dari objek kegiatannya yang hanya melakukan penelitian hukum saja, terbatas mengenai pembentukan peraturan negara. Namun demikian, sebaliknya ia lebih luas dari kompleksitas permasalahan, paradigma, dan metodologinya.

Beberapa materi kuliah Fakultas Hukum Gesetzgebungs Wisensschaft, antara lain, bidang Teori Hukum, yaitu Pengantar Ilmu Hukum. Sedangkan pada bidang Teori Kenegaraan, yakni Ilmu Negara. Dan, pada bidang Dogmatika Hukum ialah: Pengantar Tata Hukum Indonesia, Asas Hukum Tata Negara, Asas Hukum Administrasi Negara, Lembaga Kepresidenan, Lembaga Perwakilan Rakyat, Hukum Tata Usaha, Birokrasi Negara, dan Hukum Administrasi Daerah. Sedangkan ilmu penunjangnya, ialah Sosiologi Hukum, Politik Hukum, dan Filsafat Hukum.

Karena orientasi Gesetzgebungs Wisensschaft kepada ilmu pembentukan peraturan perundangan, praktis ia bersifat normatif. Jadi bagaimana dengan wilayah moral hukum dari Emmanuel Kant? Terakhir itu harus dilakonkan oleh Teori Perundangan yang dipaksa mencari kejernihan pengertian kognitif hukum atau Enklarung. [7]

Baca Juga :  Catatan Kritis di Hari Penjajahan Pers Nasional

Idealnya begini. Kalau Gesetzgebungs Wisensschaft diberikan kepada mahasiswa Fakultas Hukum sebagai Mata Kuliah Dasar (MKD) Keahlian Hukum, maka Teori Perundangan -khususnya untuk mengelaborasi dasar hukum perundangan hukum positif- dimasukkan Mata Kuliah Keahlian Hukum (MKKH). Di samping itu, Teori Perundangan masih dapat ditumpangkan ke Mata Kuliah Pendalaman (MKP).

Secara waktu, Gesetzgebungs Wisensschaft merupakan pelajaran tengah. Artinya, untuk masuk ke masalah Gesetzgebungs Wisensschaft, diperlukan pengantar. Yaitu, mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Ilmu Negara, Asas Hukum Tata Negara, dan Asas Hukum Administasi Negara.

Karena Gesetzgebungs Wisensschaft berorientasi kepada perilaku pembentukan, perancangan, dan penyusunan UU, maka pengajaran Gesetzgebungs Wisensschaft di Fakultas Hukum, mutlak dilengkapi silabus praktikum.

Kendati Gesetzgebungs Wisensschaft adalah anak bungsu hukum, namun sejauh perkembangan ilmu hukum modern, jasa pengajaran Gesetzgebungs Wisensschaft (Proses, Teknik, Metodologi), sudah mampu memperkaya ilmu pengetahuan hukum.

Antara lain: (i) bagaimana norma, jenis, karakteristik, tata susunan hukum yang memudahkan pemahaman hakikat UU, (ii) bagaimana jenis, fungsi, materi sumir muatan UU, (iii) bagaimana bentuk luar (kenvorm) UU, (iv) bagaimana tahapan proses pembentukan UU, PP, dan seterusnya, (v) bagaimana menyusun dan merancang, mengenali bagian esensial, sistematika, dan batang tubuh UU.

Terakhir, Gesetzgebungs Wisensschaft banyak membantu (vi) bagaimana memahami ragam bahasa dan ungkapan UU.

Sedangkan Teori Perundangan, sudah melicinkan jalan untuk memahami: (i) sistem pemerintahan dan sistem pembentukan peraturan perundangan berikut pembandingnya. Juga, (ii) membantu memahami hakikat: (a) UU yang lahir dari kekuasaan perundangan (pouvoir legislative), dengan (b) UU yang lahir dari kekuasaan kepala negara merangkap kepala pemerintahan (pouvoir reglementaire), dengan (c) UU yang lahir dari kekuasaan eksekutif (pouvoir executif).

Sumbangan nyata tak kalah penting dari Teori Perundangan adalah (iii) membantu mencari pemahaman: perbedaan UU Indonesia yang berlaku umum dengan UU Penetapan Anggaran Negara (UU APBN) yang tak umum – dalam mazhab UUD 45 disebut Wetsgeving dan Staatsbegroting.

Selain itu, Teori Perundangan adalah alat yang, sejauh ini digunakan untuk (iv) memahami materi muatan khas UU Indonesia, sekaligus alat untuk (v) paham het wetsbegrip UUD 45.

Eksistensi Gesetzgebungs Wisensschaft menjadi sangat penting menjelang Perang Dunia II di Eropa dan Amerika. Ihwalnya, karena Gesetzgebungs Wisensschaft ditugaskan mengelaborasi Trias Politica sebagai sistem negara yang lahir dari pikiran Montesquiue abad sebelumya.

Ilmu Peraturan Perundangan alias Gesetzgebungs Wisensschaft itu beroleh tugas: bagaimana hukum mengatur pemisahan kekuasaan negara dalam bentuk triumvirat Eksekutif – Yudikatif – Legislatif untuk mewujudkan demokrasi dunia. Munculnya kelompok Mac Avee dalam kancah diskursus Trias Politica tahun 1930-an, telah dengan sendirinya menguatkan ide-ide Check & Balances dari Ras Anglo Saxon – yang kita gunakan sekarang ini – tumbuh dan berkembang bersama Gesetzgebungs Wisensschaft yang berasal dari Ras Eropa Continental.

Jean Jacques Rousseau, peletak social contract, mengemukakan: tujuan negara adalah untuk menegakkan hukum. Dengan demikian menjamin kebebasan warga negara. Karenanya, UU dibentuk atas kehendak publik (volonte generale). [8]

Setelah kejayaan berbagai metodologi demokrasi Negara Kota berlalu, perhatian dunia tentang demokrasi memang tercurah hanya kepada tiga masalah sepanjang PD I dan paska PD II. Yaitu: (i) Pemisahan Kekuasaan Negara / Trias Politica, (ii) Perjajian Masyarakat / Social Contract, dan (iii) Peraturan Perundangan Negara / Gesetzgebungs Wisensschaft. Ketiganya bertujuan untuk membangun demokrasi.
Adalah menarik hati, akibat kolonialisme dan despotisme dunia, disusul PD I dan II, perdebatan mengenai tiga hal tadi malah didominasi pikiran para ahli Abad 18.

Saya mencatat pikiran Jean Bodin setara Rosseau, Thomas Hobbes, John Locke, dan Montesque di bidang Gesetzgebungs Wisensschaft pada wacana demokrasi negara, kata Bodin: “Hanya satu yang diwariskan kedaulatan rakyat kepada kekuasaan dalam azas kontrak sosial. Yaitu, memberinya hak untuk menghukum yang bersalah.”

Jadi, Bodin lebih maju selangkah dibanding Rosseau, di mana demokrasi dalam tesis Bodin, tanpa hukum tak lebih dari anarkisme. Dengan itu, Bodin meletakkan hukum sebagai panglima dalam berbangsa bernegara. Dan, dalam domain tesis Bodin itulah tempat Naskah Akademik harus dipandang dan diperlakukan.

Proses pembentukan UU sendiri, terdiri tiga tahap: (i) proses penyiapan – penyusunan dan perancangan dari pemerintah, DPR (RUU Usul Inisiatif), (ii) proses persetujuan, pembahasan dari DPR, dan (iii) proses pengesahan presiden dan pengundangan oleh Mensesneg.

Sedangkan pembentukan PP terdiri: (i) penyiapan RPP – penyusunan dan perancangan dari pemerintah, (ii) penetapan presiden dan pengundangan oleh Mensesneg.

Dalam praktikumnya, parlemen sebagai badan pembuat UU tak selalu berfungsi seperti itu. Peran pemerintah justru signifikan, karena punya pengalaman dan tenaga ahli yang cukup, menguasai data empiris, dan fasilitas.

Senayan, agaknya baru akan menjelma Legislator sungguhan jika ia sudah mampu dikelola seperti Kongres Amerika Serikat, di mana jumlah staf ahli para Senator lebih 10.000 orang pada tahun 1999.

Footnotes:

[1] Djoko Edhi S Abdurrahman, Anggota Komisi III DPR-RI, dan Anggota Pansus RUU Kementerian Negara. Dibawakan 24 Februari 2006 dalam Diklat DPRD Gowa di Batam – diselenggarakan Lembaga Pengkajian & Pengembangan Kewilayahan (LP2K) Jakarta.
[2] Konsinyering di Kopo, tanggal 3 – 5 Maret 2006.
[3] Peter Noil dalam Prof DR Hamid Attamimi, “Ilmu Perundang-undangan – Dasar-Dasar dan Pembentukannya”, Prof Maria Farida Indrati Soeprapto, SH, MH, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998. Catatan: baca pula “Ilmu Peraturan Perundang-Undangan -Dasar-dasar Pembentukannya Buku 2 dari Prof Maria Farida, terbit tahun 2007.
[4] Grundfragen der Gesetzgebungs Lehre, 1979.
[5] Gesetzgebungs Wisensschaft, 1981.
[6] De ontwikkeling van de wetgevingswetenschap, 1988.
[7] Gesetzgebungs Wisensschaft menggunakan terminologi Enklarung (Penjernihan), bukan Aufklarung (Pencerahan) atau Enlightenment dari Voltaire.
[8] Rosseau, Jean-Jacques, “Du Contract Social: Du Principes De Droit Politique”, Paris, 1762, Edition Garnier, FreePress, 1962.

Loading...