Kontroversi Larangan Mudik. Opini Mala Hanafie

Kontroversi Larangan Mudik. Opini Mala Hanafie

Kontroversi Larangan Mudik. Oleh: Mala Hanafie, Pemerhati Sosial.

“Sejauh-jauh terbang bangau, hinggap juga di bubungan. Sejauh apapun orang merantau akhirnya akan pulang ke kampung halaman.”

Ada kebiasaan yang telah menjejak di masyarakat, yaitu kembali ke kampung halaman. Bagi perantau hal ini menjadi tradisi setelah sekian lama meninggalkan kampung halaman dengan alasan pekerjaan atau menempuh pendidikan. Mudik jadi hiburan terbaik untuk melepas kerinduan pada tanah kelahiran. Sayangnya hari ini para perantau harus berpikir dua kali, sebab di tengah pandemi ini Pemerintah mengambil langkah melarang aktivitas mudik demi memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19.

“Pada rapat hari ini, saya ingin menyampaikan juga bahwa mudik semuanya akan kita larang,” begitu kata Presiden Jokowi. (wartakota.tribunnews.com/300420). Tidak tanggung-tanggung di dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang pengendalian transportasi, pemerintah akan memberlakuan sanksi berupa teguran dan denda bagi siapapun yang memaksa untuk mudik. (indonesia.go.id/260420)

Akan tetapi kebijakan yang dilakukan pemerintah justru menghadirkan polemik di masyarakat, alih-alih jadi solusi dalam mencegah penyebaran wabah pemerintah malah menciptakan perdebatan baru. Pasalnya dalam sebuah wawancara Presiden menyatakan melarang mudik dan membolehkan pulang kampung. Pernyataan ini jelas ambigu, sebab maksud dari dua kata tersebut sama-sama merujuk pada aktivitas perpindahan masyarakat dan menyebabkan terjadinya perkumpulan massa.

Kebijakan Plinplan
Sikap mencla-mencle pemerintah semakin terlihat dari adanya kelonggaran izin bagi pemudik dengan mengikuti protokoler yang dibuat pemerintah. Terlebih karena pelarangan mudik dikhawatirkan akan membawa dampak pada iklim ekonomi nasional. Kegiatan mudik yang telah jadi rutinitas tahunan dipandang sebagai amunisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena adanya peningkatan pengeluaran dan penambahan konsumsi kebutuhan masyarakat. (kompas.com/300420).

Baca Juga :  Delapan Rumah Warga Rusak Akibat Hujan Disertai Angin Kencang

Lagi-lagi segala keputusan yang diambil jajaran pemerintahan tetap menyoal pada hitungan untung rugi materi. Pemerintah tak serius dengan tujuannya menghentikan penyebaran virus Covid-19. Tak ada kejelasan dari sikap pemerintah dalam upaya memutus rantai meluasnya penyebaran virus ini. Kebijakan plinplan manakala selalu saja mengedepankan sudut pandang sisi ekonomi dan tega meminggirkan sisi kemanusiaan. Ruh kapitalisme mempengaruhi setiap tindakan, seolah kejatuhan ekonomi lebih berat nilainya dibanding jumlah korban yang berjatuhan semasa pandemi.

Bukan hanya gagal memberi jalan keluar tindakan ini menunjukan bahwa pemerintah hari ini tidak mampu menakar skala prioritas. Tak memahami akar masalah, tak berdaya menghadirkan solusi pasti. Prinsip demokrasi yang tegak di negeri ini nyatanya sekedar basa-basi. Ungkapan “dari dan untuk rakyat” realitanya jauh berbeda. Standarnya tetap saja pada hitungan materi. Tidak ada ketegasan dalam menghadapi wabah yang terjadi, pun tidak mengambil langkah konkrit melindungi masyarakat yang terimbas olehnya.

Sejarah Islam dalam menangani wabah
Pada masa peradaban Islam, sejarah mengisahkan bahwa wabah penyakit (tha’un) pernah menimpa kepada Kaum Muslimin. Rasulullah saw memerintahkan Kaum Muslim yang wilayahnya terkena wabah untuk menetap dan menganjurkan Kaum Muslim di wilayah lain untuk menghindari tempat tersebut. Begitu pula ketika masa Kekhalifahan Umar bin Khattab dengan segera Amirul Mukminin memutuskan aturan yang serupa dengan ajaran Rasulullah saw.

Baca Juga :  Mengolah APBN untuk Dongkrak Elektabilitas

Kebijakan tersebut dilakukan demi keselamatan kaum muslimin. Menghimbau kepada kaum muslimin di lokasi yang terkena wabah untuk tidak meninggalkan tempat tinggal serta melarang kaum muslimin dari wilayah lain untuk mendatangi tempat tersebut. Karantina atau hari ini kita sebut dengan Lockdown yang dilakukan pada masa itu tujuannya jelas, yaitu mencegah dari tersebarnya wabah yang bisa membawa banyak korban. Amirul Mukminin dengan sigap menetapkan karantina sehingga umat tak perlu terkatung lama. Umat patuh pada kebijakannya.

Bila disandingkan dengan ketetapan yang terjadi hari ini jelas tak akan sebanding. Sikap pemimpin yang menjalankan amanah sebab keimananan dan kesadaran penuh akan tanggung jawab kepemimpinannya sebagaimana Umar ra. Mengayomi karena ketaqwaan membuatnya takut membiarkan rakyat kelaparan. Bahkan merasa berdosa bila hewan ternak ikut terluka karena kelalaiannya. Dengan ketaatannya Ia rela menahan lapar dan hidup dalam keterbatasan.

“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin, penguasa yang memimpin manusia dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya…” (Hr. Bukhari)

Begitulah pemimpin yang mengikatkan diri pada keimanan. Menakar tiap perbuatan semata pada takaran ketaatan. Tentu bertolak jauh dengan kepemimpinan hari ini. Tak terlihat bersungguh-sungguh menghadapi pandemi pun tak menjadikan rakyat sebagai prioritas utama untuk dilindungi. Setiap kebijakannya hanyalah memunculkan kontroversi bukan solusi.

Wallahu’alam

Loading...