WARTARAKYAT.ID – Para Tokoh dan Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Kedaulatan (KMPK) telah mengajukan permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) terhadap ketentuan sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Permohonan tersebut telah resmi diterima oleh petugas yang bekerja di kantor MK pada, Rabu (15/04/2020).
“Puluhan pemohon judicial review atas Perppu No.1/2020 berasal dari berbagai elemen masyarakat yang peduli terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan amanat konstitusi. Mereka antara lain adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, Prof. Dr. M. Amien Rais, Dr. Marwan Batubara, Drs. M.Hatta Taliwang M.I.Kom, KH Agus Solachul Alam (Gus Aam), Dr. HMS Kaban, Dr. Ahmad Redi, Dr. Abdullah Hehamahua, Adhie M. Massardi, Indra Wardhana, Darmayanto, Roosalina Berlian, dan sejumlah tokoh dan aktivis yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.” ungkap Marwan Batubara selaku Koordinator Pemohon, dalam Press Release yang diterima oleh redaksi.
Marwan melanjutkan, Adapun para Advokat dan Konsultan Hukum yang berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 13 April 2020 akan bertindak untuk dan atas nama para pemohon antara lain adalah Prof. Dr. Syaiful Bakhri, Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, Dr. Ibnu Sina Chandranegara, Dr. Ahmad Yani, Dr. Dwi Purti Cahyawati, Noor Asyari SH. MH., Dr. Dewi Anggraini, dan lain-lain. Para advokat telah bekerja dengan sangat intens, sehingga dokumen judicial review atas Perppu No.1/2020 telah disampaikan kepada MK dalam waktu yang tidak lama.
“Sebagai salah satu pemohon, Prof. Din Syamsuddin mengatakan lahirnya Perppu No.1/2020 di tengah pandemi virus corona tidak punya cantolan konstitusional yang jelas. Tidak juga dikaitkan dengan undang-undang tentang kedaruratan kesehatan, dimana justru pemerintah hampir menerapkan darurat sipil. Din mengatakan ada hal substansial dalam Perppu No.1/2020 yang melanggar amanat kosntitusi, sehingga sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” lanjut Marwan.
Ia juga menjelaskan, bahwa permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) terhadap ketentuan sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tersebut. didasarkan atas masukan dan pendapat para pakar dan tokoh yang diantaranya adalah :
- Prof. Sri-Edi Swasoso menyampaikan dalam 5 tahun terakhir pemerintah sebenarnya gagal mengelola ekonomi nasional dan mencapai target-target yang dijanjikan. Sebeleum pandemi korona, bukan saja nilai tukar (US$/Rp) turun jauh di bawah target Rp 10.000 menjadi sekitar Rp 15.000, jumlah utang meningkat 40% (Rp 2.600 triliun), target pertumbuhan ekonomi pun tidak pernah tercapai! Lantas, melalui Perppu No.1/2020 ini, pemerintahan Jokowi bukan saja ingin menutupi kegagalan tersebut, tetapi juga bermaksud menjalankan agenda kekuasaan dan rekayasa ekonomi tanpa kendali dengan melebarkan defisit di atas 3%.
- Prof. M. Amien Rais, pemerintah mengakui prilaku moral hazard akan menjadi perhatian dalam menjalankan Perppu No.1/2020. Tetapi yang tertulis dalam Pasal 27 Perppu No.1/2020 justru hal sebaliknya, dimana disebutkan uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara, dan kebijakan keuangan yang dikeluarkan bukan merupakan objek gugatan di PTUN. Amien Rais mengingatkan, sesuai Pasal 1 UUD 1945, NKRI adalah negara hukum dan kedudukan perppu berada di bawah konstitusi. Perppu No.1/2020 tidak bisa menihilkan UUD 19145. Moral hazard akan dapat dicegah jika prinsip moral dalam Pancasila dan amanat penegakan hukum dalam UUD 1945 konsisten dijalankan.
- Dr Ahmad Redi mengatakan Perppu No.1/2020 harusnya fokus pada upaya melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dari ancaman pendemi Covid-19. Tidak ada kegentingan memaksa selain kepentingan pencegahan dan penanganan Covid-19 dalam perppu. Ikhwal ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas system keuangan dalam perppu merupakan penumpang gelap yang tidak memenuhi kriteria kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945 dan menjadi modus post pactum yang sangat potensial menjadi komodifikasi abuse of oleh penguasa.
- Prof. Syaiful Bahri sebagai kuasa hukum para pemohon antara lain menjelaskan keadaan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945 dan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019 hanya terpenuhi dalam hal penanganan Covid-19. Sementara dalam ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, tidak ada keadaan kegentingan yang memaksa. Syaiful menambahkan Perppu tersebut menjadikan eksekutif dalam arti sempit akan berjalan tanpa kontrol atau melampaui kewenangan yang diamanatkan konstitusi dan diatur UU. Perppu No.1/2020 memangkas tiga lembaga sekaligus. Ia memaparkan Pasal 2 Perppu itu memangkas fungsi pengawasan dan budgeting DPR.
- Dr Ibnu Sina Chandranegara menjelaskan permohonan pengujian ini dimaksudkan untuk menguji konstitusionalitas produk hukum dalam merespon keadaan darurat yang ternyata memuat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari UU yang ada, seperti Pasal 28 Perppu No.1/2020, menguji norma-norma yang dikesampingkan dalam 12 UU tersebut menjadi penting mengingat konsistensi penerapan konstitusionalisme Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 UUD 1945.
- Dr. Ahmad Yani menyatakan bahwa seluruh norma yang diatur dalam Perppu No.1/2020 terlihat mengada-ada dan dapat dijadikan jalan untuk membenarkan segala tindakan dan kebijakan yang melawan hukum dan sekaligus melucuti kewenangan lembaga-lembaga negara ( DPR, BPK dan Peradilan) yang mendapat mandat langsung dari konstitusi, atas dasar darurat Covid-19 dan merusak sistem ketatanegaraan yang ada. Norma yang diatur dalam perppu tersebut jelas bertentangan dengan konstitusi dan menabrak banyak ketentuan yang khusus dalam Undang-Undang yang lain.
Sebagai salah satu koordinator pemohon, Marwan Batubara dan Hatta Taliwang berharap MK dapat mengadili perkara judicial review Perppu No.1/2020 tersebut dengan adil untuk seluruh rakyat Indonesia.
“Saya meminta agar MK dapat mengadili perkara judicial review Perppu No.1/2020 dengan jujur, independen, sportif, amanah, bertanggungjawab, terhormat, rasa malu, mandiri dan bermartabat, sehingga menghasilkan putusan yang objektif dan adil bagi negara dan seruluh rakyat Indonesia,” pungkas Marwan. Sedangkan Hatta Taliwang meyakini dengan terselenggaranya sidang-sidang di MK untuk mengadili perkara judicial review ini kelak, rakyat memperoleh pengetahuan dan pencerdasan tentang berbagai hal dan motif di balik terbitnya Perppu No.1/2020,” tutup Hatta Taliwang. (AMN)